OPINI  

Kesejahteraan Guru Honorer; Paradoks Rasionalitas Naratif Elit

Oleh : Izhar Ma’sum Rosadi ( Ketua Umum Lsm Baladaya).

Bekasi, jabarkabardaerah.com -Sebagai catatan demo guru honorer beberapa waktu lalu di kabupaten Bekasi, prilaku kaum elite yang penuh paradoks masih dominan mewarnai media massa kita. Secara umum, proses komunikasi politik masih ada pola panggung depan, dan hanya menyisakan sedikit saja’oase’ bagi kepentingan guru honorer yang berdemo dan kesulitan akses ke toilet, ke masjid di lingkungan pemda kabupaten Bekasi,juga mendapatkan nada keras ketika beraudiensi dengan Neneng Hasanah Yasin (NHY),bupati Bekasi. Sangat keliru ketika seorang pemimpin menghadapi audiensi dengan guru honorer dengan nada keras. Bukankah menggunakan nada keras dihadapan guru honorer itu sama dengan merendahkan akal sehat? Sejarah akan mencatat peristiwa ini. Bena7rkah keberpihakan Bupati Bekasi terwujud lewat seremoni pemberian perintah pendataan guru honorer? Benarkah pula keberpihakan DPRD Kab Bekasi terwujud lewat seremoni dukungan tanda tangan dan pembentukan Pokja Guru Honorer? Atau, jangan-jangan itu semua hanya bagian dari panggung depan konsolidasi semu para elite berkuasa ini?
Apa yang dilakukan elit berkuasa sebenarnya bisa kita pahami dalam dua diskursus, Rasionalitas Naratif dan Panggung Depan.

( Foto 2016 ; Akun Media Sosial yang tersebar)

Rasionalitas Naratif

Adalah Walter Fisher (1987), Seorang teoretikus paradigma naratif, mengurai tentang pentingnya membangun rasionalitas naratif. Baginya, tak semua cerita memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai. Dia mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity). Koherensi akan muncul saat si komunikator yang membangun dan mengembangkan narasi dapat menyajikannya dengan konsisten.

Dia tidak meninggalkan detail-detail penting dan tidak pula mengontradiksikan satu bagian narasi dengan narasi lain di konteks berbeda. Adapun prinsip kebenaran memiliki makna reliabilitas dari sebuah cerita. Dalam konteks ini, pernyataan komunikator merepresentasikan secara akurat realitas sosial. Kedua prinsip rasionalitas naratif ini kerap kali tidak kita temukan dalam bangunan narasi para politisi. Teramat sulit mencari politisi di negeri ini yang membangun narasi mereka secara konsisten! Satu narasi yang mereka sodorkan ke publik kerap kontradiksi dengan narasi sebelum atau sesudahnya, terutama di substansi penting dari pesan. Belum lagi bicara soal tautan kebenaran dari apa yang mereka narasikan dengan realitas yang dirasakan masyarakat.
Kita mengamati bahwa NHY, pada akun facebooknya 30 Januari 2016, menyatakan bahwa “Silaturahmi dan audiensi bersama honorer yang ada di kabupaten Bekasi untuk mencari solusi di gedung serbaguna Wibawamukti kompleks stadion wibawamukti dan doakan saya di sisa akhir jabatan akan buat kajian dan kebijakan untuk bisa menambah kesejahteraan pegawai honorer sehingga para nasib honorer kabupaten Bekasi menjadi sejahtera. Aamiin”. Narasi kampanye ini selazimnya tidak kontradiktif dengan keadaan yang ada. Tetapi, nyata-nyata sudah dua tahun para pegawai honorer sudah menunggu kebijakan populis dari NHY. Aksi damai Guru Honorer kemudian menjadi puncak gunung es dari persoalan pegawai honorer di kabupaten Bekasi. NHY pun mencoba membangun persepsi positif dalammeresons aksi damai tersebut. Narasi yang dibangun untuk menciptakan persepsi positif itu antara lain terlihat dari surat perintah Bupati Bekasi untuk pendataan guru honorer. Dalam konteks kepentingan si aktor, tentu narasi ini berupaya mengubah kuadran opini publik dari negatif ke netral ke positif. Jangan sampai untuk kesekian kalinya mereka berjanji akan memperjuangkan kesejahteraan pegawai honorer, namun faktanya hanya isapan jempol belaka. Narasi seperti ini tentu hanya akan menjadi seremoni dan formalistik tanpa tautan kebenaran. Wajar jika guru honorer secara serentak ”menghukum” narasi tanpa tautan kebenaran saat kampanye NHY pada Pilkada lalu, menjadi aksi damai guru honorer menuntut untuk disejahterakan. Jadi bukan tanpa alasan.

Panggung Depan

Tak dipungkiri bahwa panggung hiburan memiliki banyak kesamaan dengan panggung politik politik, dalam praktiknya. Keduanya sama-sama memiliki unsur dramaturgi yang menuntut orang memainkan peran-peran tertentu. Erving Goffman (1922- 1982) seorang sosiolog interaksionis dalam bukunya, The Presentation of Self in Everyday Life, menyatakan, perilaku dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari menampilkan diri kita dengan cara yang sama dengan aktor saat menampilkan karakter orang lain pada sebuah pertunjukan drama.
NHY,juga DPRD Kab Bekasi, harus kita pahami sebagai para aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan “pertunjukan dramanya sendiri”. Menurut konsep dramaturgis, mereka tentu akan mengembangkan sejumlah perilaku yang mendukung perannya. Setting, kostum, serta pesan verbal dan nonverbal selama diskusi kecil, audiensi dengan guru honorer, kedatangan NHY jelang subuh dengan sarapan nasi uduk dan berselie ria, bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik di publik bahwa tidak ada apa apa di pemerintah daerah kabupaten Bekasi.
Goffman menyebut tindakan ini dengan istilah impression management. Dalam hal memainkan peran, panggung politik sama persis dengan panggung hiburan. Sama-sama menuntut penampilan prima terutama saat sang aktor berada di panggung depan (front stage). Di situlah publik diajak masuk ke dalam pemahaman dan alur cerita yang dikehendaki.
Mengamati hal itu, tindakan bukanlah sesuatu yang natural, melainkan telah dikonstruksi dalam realitas seolah-olah. Hal ini tentunya berbeda dengan situasi panggung belakang (back stage) yang biasanya bebas dan menjadi representasi tindakan nyata apa adanya.
Penggunaan nada keras saat audiensi dengan guru honorer dan kedatangan NHY jelang subuh dengan sarapan nasi uduk serta berselie ria,bahkan tanda tangan dukungan para anggota DPRD kabupaten Bekasi, jelas-jelas merupakan panggung depan elite sehingga apa yang tersaji di panggung depan belum tentu menjadi representasi kebenaran hakikinya.
Terlalu dangkal jika mengklaim soliditas internal hanya dari tindakan eksekutif dan legislatif yang seremonial dan formalistik. Dengan demikian, waktulah yang akan menguji konsistensi elit, sekaligus mengonfirmasi benarkah mereka akan memenuhi tuntutan guru honorer atau hanya bermain peran di panggung depan.

Aspek Legal Guru Honorer

Menilik pada gaji guru honorer, bukan rahasia umum bila gaji menjadi guru honorer saat ini terbilang rendah, bahkan di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Ada banyak guru honorer dengan pendidikan tinggi setingkat sarjana yang mendapatkan gaji di bawah Rp 1 juta/bulan.
Terdapat beberapa regulasi yang mengatur guru honorer yang tertera dengan jelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara , dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 7 Tahun 2011 tentang Honorarium Guru yang menyatakan bahwa sudah di tetapkan gaji guru honorer naik dari Rp.710.000 menjadi Rp. 1.000.000 setiap bulan dimulai dari januari 2011, tetapi pada kenyataannya masih terjadi kesenjangan terhadap gaji para guru honorer di daerah Indonesia, salah satunya di daerah kabupaten Bekasi.
Berkaitan dengan SK Honorer bahwa dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 8 Tahun 2017 yang berlaku sejak 1 Maret 2017, maka para guru honorer yang ada di sekolah negeri wajib mengantongi surat keputusan (SK) yang diterbitkan pemerintah daerah.
Jika menilik pada kekhawatiran Bupati Bekasi akan pelanggaran aturan, saya menduga bahwa Bupati kurang cermat mengambil landasan hukumnya. Perlu keberanian yang pada tempatnya untuk membuat kebijakan yang mensejahterakan guru honorer di alam otonomi daerah saat ini. Sehingga dalam konteks pemenuhan janji politik yang telah ternarasikan ke publik, bahwa performa tak cukup hanya citra, melainkan kerja nyata yang tak bisa direkayasa oleh jutaan kata kata dusta sekalipun mempesona!.

Tinggalkan Balasan