OPINI  

Bekasi Baru Bekasi Bersih, Mungkinkah?

Oleh Izhar Ma’sum Rosadi

(Pemerhati dan kritikus, Ketua UMUM LSM BALADAYA, Warga Kabupaten Bekasi tinggal di Desa Segarajaya kecamatan Tarumajaya)

OPINI, jabarkabardaerah.com – Ada yang menarik dan mengena dalam tulisan Berita Humas Kabupaten Bekasi, Jum’at (15/2). Salah satu bagian tulisan di Berita tersebut menyoroti tentang penandatanganan Perjanjian Kinerja untuk Tahun Anggaran 2019. Kegiatan tersebut disaksikan oleh Plt. Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja SH, didampingi Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi Uju serta perwakilan dari Deputi KemenPan RB pada kamis (14/02/2019) di Hotel Ayola Lippo Cikarang Selatan.

Sangatlah tepat jika Eka mengatakan, perjanjian kinerja yang dilakukan ini merupakan bentuk komitmen dalam menjalankan tugas dan fungsi ASN sebagai penyelenggara negara, dan selain itu juga merupakan salah satu komponen pendukung indikator Penilaian Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang berdasarkan hasil evaluasi penilaian Kemenpan-RB RI. Namun sangatlah kurang tepat jika Eka mengatakan bahwa pada 2018 lalu, Kualitas budaya kerja birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi hasil pada Pemkab Bekasi menunjukan hasil yang baik. Demikian penggalan tulisan Berita Humas tersebut.

Bukankah rakyat Bekasi memahami mengenai buruknya kualitas hasil pembangunan? Dan bukankah korupsi masih marak di Bekasi, ditandai dengan adanya Kasus Operasi Tangkat Tangan (OTT) KPK beberapa waktu lalu? Benar dan tidak isi pernyataan Eka, toh masyarakat bisa memahaminya sendiri melalui sosial audit masing-masing.

Di bagian lain, Eka meminta kepada Kepala Perangkat Daerah untuk meningkatkan lagi kinerjanya pada Evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) tahun mendatang. Agar naik menjadi predikat BB atau A. Permintaan Eka tersebut patut diapresiasi dan Kepala masing masing OPD wajib melaksanakannya, dalam semangat Bekasi Baru, Bekasi Bersih !

Manajemen pemerintahan baru ?
Menarik untuk memahami Istilah manajemen pemerintahan. Istianto dalam bukunya Manajemen Pemerintahan dalam Perspektif Pelayanan Publik mengatakan bahwa : “Manajemen pemerintahan diartikan pada bagaimana secara organisasional untuk mengimplementasikan kebijakan publik. Dengan demikian manajemen pemerintahan lebih terfokus pada alat-alat manajerial, teknis pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk mengubah ide-ide dan kebijakan menjadi program tindakan”. (Istianto, 2011: 29). Adapun, fungsi-fungsi manajemen pemerintahan diurai Taliziduhu Ndraha dalam bukunya yang berjudul Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 1 (Ndraha, 2011: 160), antara lain, pertama, Perencanaan pemerintahan; dilakukan untuk mengklarifikasi tujuan organisasi dan menyusun langkah-langkah guna mencapai tujuan (tujuan konkret dan terukur) organisasi. Kedua, Pengorganisasian sumber-sumber pemerintahan; realisasi (implementasi) langkah-langkah tersebut memerlukan sumber daya, baik SDA, SDM, maupun SDB. Sebelum digunakan, sumber daya harus diorganisasikan agar siap pakai. Ketiga, Penggunaan sumber-sumber pemerintahan; dilakukan untuk menggerakkan sumber-sumber pemerintahan agar mendapatkan hasil-hasil yang sudah ditetapkan. Dan terakhir adalah Kontrol pemerintahan; dilakukan untuk menjamin kesesuaian antara target pada perencanaan dengan hasil yang diperoleh dari penggunaan sumber-sumber pemerintahan tersebut
Istilah manajemen pemerintahan (MPB) atau new public management berkembang di negara maju. Di AS perkembangan MPB dikenal dengan istilah reinventing government, yaitu perlunya pemerintah mentransformasikan semangat wiraswasta dan usaha (entrepreneurial spirit) dalam menjalankan roda pemerintahannya (Osborne dan Gaebler, 1992).

Jika konsep di atas diterapkan di pemerintahan kabupaten Bekasi, setidak-tidaknya pemberdayaan pemerintahan daerah mengarah pada ’melayani’ masyarakat, sehingga tentunya tidak ada jalan bagi legislatif untuk mencari-cari permasalahan, karena visi dan misi yang diemban sama yaitu bagaimana melayani publiknya, yang dalam hal ini baik sebagai client maupun sebagai constituent-nya. Atau dengan kata lain grey area dalam kebijakan publik dari lembaga legislatif dan eksekutif adalah partisipasi masyarakat. Di lain pihak, masyarakat sebagai bagian dari pilar good governance, menghendaki eksekutif dan legislatif melaksanakan atau how to govern dengan transparansi dan how to check the government dengan transparansi. Dengan kata lain, maka quality menjadi rujukan bagi pelaksana maupun stakeholders atas terapan good governance yang diinginkan.

Akuntabilitas menuju Pemerintahan Bersih?

Akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu ciri dari terapan”Good Governance” atau pengelolaan pemerintahan yang baik dimana pemikiran tersebut bersumber bahwa pengelolaan administrasi publik merupakan issue utama dalam pencapaian menuju ”clean government” (pemerintahan yang bersih). Ada beberapa pilar good governance dalam berinteraksi satu dan lainnya yang saing terkait, yaitu: Government, Citizen, dan Business atau State, Society dan Private Sector. Pada dasarnya pilar tersebut mempunyai konsekuensi akuntabilitas terhadap publik atau masyarakatnya, khususnya stakeholders yang yang melingkupi ketiga pilar tersebut sebagai pelaku ”How to govern” atas aktivitasnya.
Undang-undang No.22 dan No.25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Daerah secara tersirat dan tersurat dinyatakan perlunya pertanggungjawaban daerah atas segala proses tindakan-tindakan yang dibuat dalam rangka tata tertib menuju instrumen akuntabilitas daerah.
Inilah bagian terpenting untuk ditata, yang pada akhirnya menjadi instrumen good governance. Selain itu, Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, pada prinsipnya menitikberatkan pada perlunya transparansi dan, keharusan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi mengenai pemerintahan. Mereka yang memegang kekuasaan hukum pemerintah perlu didorong untuk ikut bertanggngjawab terhadap publik atas tindakannya. Rakyat, melalui lembaga lesgilatif telah menempatkan kepercayaan pada pejabat tersebut untuk melakukan tanggung jawabnya sesuai kepentingan rakyat. Sebaliknya, para pejabat ini diwajibkan untuk melaporkan dan memberikan alasan terhadap setiap kebijakan dan operasionalisasi kegiatan. Dalam pengertian pertanggung jawaban demikian, akuntabilitasi mempunyai suatu kewajiban pejabat pemerintah kepada raktat dimana publik mempunyai hak untuk melakukan suatu ”correction” atas tindakan-tindakan yang diambil oleh penguasa (Broke 1997). Ini merupakan bahwa selain memberikan pertanggung jawaban, para pejabat juga harus dimintai tanggung jawabnya.
Mungkinkah konsep Bekasi Baru Bekasi Bersih benar benar bisa diterapkan? Atau, jangan-jangan konsep tersebut hanya bagian dari panggung depan elite yang berkuasa saat ini?

Tantangan

konsep Bekasi Baru Bekasi Bersih memang tak mudah direalisasikan, meskipun bukan hal mustahil. Tantangan paling nyata ada pada sosok para birokrat dan politisi yang saat ini telah tercemar residu politik rendahan. Paling tidak ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam menjalankan konsep konsep Bekasi Baru Bekasi Bersih.
Pertama, birokrat dan para politisi harus sepakat menjalankan Program Anti Korupsi, dengan tujuan mendukung pemerintah untuk mengembangkan dan menerapkan berbagai program nyata dengan aksi terpadu dalam memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, birokrat dan para politisi harus sepakat menjalankan program reformasi pelayanan umum, untuk mendukung pelayanan yang bersih, efficient, dan terjangkau. Ketiga, birokrat harus menjalankan Program Corporate Governance, untuk mendukung prinsip-prinsip good corporate governance dengan pola operasi, profesionalisme, industrial, dan komersial. Keempat, para politisi harus sepakat menjalankan Program Pemberdayaan Legislatif, untuk mendukung pengembangan legislatif yang mampu mengembangkan perwakilan yang efektif bagi masyarakat, pengembangan dan penyampaian legislatif dan pengawasan terhadap operasi pemerintah. Dan terakhir, birokrat dan para politisi harus sepakat memberikan Penguatan Media Massa dan Masyarakat, untuk mendukung masyarakat madani yang berkompeten, well managed dan berkemampuan finansial yang meningkat dengan keterkaitan yang baik pada sektor publik dan usaha.
Sistem dibutuhkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan menegakkan mekanisme check and balance sehingga organisasi akan sehat dan diisi oleh orang-orang yang taat pada mekanisme aturan. Jika sistem sudah terbangun dengan baik, maka terbuka peluang untuk memperbaiki orang-orang yang melekat dengan sistem tersebut. Saat organisasi pemerintah dan legislatif menjadi hutan rimba dan saling melakukan manuver yang merusak tatanan, maka harapan akan perbaikan kabupaten Bekasi ini hanya akan ada di level wacana.
Sudah sepatutnya momentum ini bukan menghadirkan kepalsuan tetapi otentisitas prilaku, bukan kerakusan dan ketamakan tetapi sikap membangun dengan baik dan bersih. Kabupaten Bekasi kekinian butuh sosok pemimpin transformatif yang berani mewujudkan Bekasi Baru Bekasi Bersih dan berani menunjukkan politik otentik serta berani mengambil resiko untuk menjadi subjek radikal guna perubahan ke arah yang lebih baik. ( red )