CBA Sorot Dugaan Perbedaan Siswa dan Dana BOS SDN 06 Cileungsi

JABAR.KABARDAERAH.COM . BOGOR — Ada yang mengganjal di balik laporan keuangan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 06 Cileungsi, Kabupaten Bogor. Data jumlah siswa yang tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) ternyata diduga berbeda dengan jumlah siswa penerima Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sebagaimana tercatat di aplikasi Jaga.id. Perbedaan itu tidak kecil,  sepanjang 2022 hingga 2024, selisihnya mencapai Puluhan hingga Ratusan siswa.

Dari catatan yang dihimpun, pada 2022 diduga terdapat selisih 204 siswa, di 2023 selisih 101 siswa, dan di 2024 selisih 79 siswa antara data Dapodik dan data penerima BOS. Padahal, hitungan anggaran Dana BOS untuk setiap siswa SD di Kabupaten Bogor telah ditetapkan sebesar Rp1.070.000 per tahun. Dengan demikian, setiap selisih puluhan siswa itu berpotensi berkaitan dengan selisih dana puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Mengapa jumlah ini tidak sama?. Pertanyaan ini mencuat lantang di benak publik. Apakah ada dugaan terdapat siswa fiktif?, Apakah kemungkinan ada juga dugaan permainan angka dalam laporan keuangan sekolah?, Atau memang ada alasan administratif yang sah?. Redaksi kabardaerah.com pun berupaya menggali jawabannya dengan melayangkan surat konfirmasi dan klarifikasi kepada pihak sekolah.

Surat konfirmasi dikirimkan pada Kamis (10/3/2025), dan balasan diterima keesokan harinya, Jumat (11/3/2025). Dalam jawaban tertulisnya, pihak SDN 06 Cileungsi menyampaikan Tiga poin intinya: selisih data tersebut disebabkan adanya siswa yang mutasi (pindah sekolah), mengundurkan diri, atau pindah domisili sepanjang tahun berjalan. Dengan kata lain, menurut pihak sekolah, bukan ada niat menyalahgunakan dana, melainkan perbedaan akibat dinamika administratif siswa.

Untuk memastikan kebenaran klaim tersebut, redaksi kembali melayangkan surat konfirmasi dan klarifikasi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor pada 14 April 2025. Salah satu poin utama dalam surat itu: meminta kepastian, apakah benar terjadi mutasi, pengunduran diri, atau perpindahan domisili siswa-siswa tersebut.

Namun, jawaban yang diterima pada hari Jumat, (2/52025) cukup mengejutkan. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor dalam surat resminya menyatakan tidak dapat memberikan informasi yang diminta. Mereka beralasan, informasi mengenai data siswa masuk kategori “informasi yang dikecualikan” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 17, yang mengatur batasan atas informasi tertentu.

Pasal 17 UU KIP memang menyebutkan pengecualian terhadap informasi yang jika dibuka dapat mengganggu ketertiban umum, melanggar privasi, atau membahayakan pihak tertentu. Namun, publik tentu bertanya-tanya: apakah pengecualian ini berlaku untuk data agregat seperti jumlah siswa mutasi, tanpa menyebut identitas personal? Tidakkah transparansi soal alokasi dana publik seharusnya menjadi prioritas, terutama untuk mencegah potensi penyimpangan anggaran?

Terpisah, Koordinator CBA, Jajang Nurjaman yang dimintai tanggapannya mengatakan,kasus selisih data siswa di SDN 06 Cileungsi menyoroti lemahnya pengawasan anggaran pendidikan di tingkat sekolah. Dengan selisih puluhan hingga ratusan siswa, potensi kebocoran Dana BOS mencapai ratusan juta rupiah per tahun.

“Ini bukan sekadar masalah administrasi, tetapi persoalan serius soal efektivitas penggunaan dana publik yang mestinya diawasi ketat untuk menjamin setiap rupiah sampai ke siswa yang berhak,” jelas Jajang dalam keterangannya, Jum’at (2/5/25).

Alasan sekolah soal mutasi dan pengunduran diri siswa terdengar rapuh tanpa bukti yang terbuka. Penolakan Dinas Pendidikan untuk mengungkap data agregat semakin mencurigakan dan menciptakan ruang gelap yang rawan disalahgunakan.

Perlindungan data pribadi tak bisa dijadikan tameng untuk menutup akses publik terhadap transparansi anggaran, apalagi terkait data umum seperti jumlah siswa keluar masuk sekolah.

“Audit independen harus segera dilakukan untuk mengurai persoalan ini, lengkap dengan pemeriksaan fisik di lapangan. Lebih dari itu, publik khususnya orang tua dan komite sekolah, wajib diberi ruang lebih besar untuk ikut mengawasi. Anggaran pendidikan bukan milik pejabat atau sekolah, tapi hak anak-anak bangsa. Menutup-nutupi data hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik pada penyelenggara pendidikan,” tegasnya.

Kasus ini mencerminkan masalah klasik: ketika birokrasi mengunci rapat informasi publik, celah bagi dugaan penyimpangan akan semakin menganga. Dana BOS adalah salah satu instrumen penting pemerataan pendidikan di Indonesia, dan setiap rupiahnya harus dipertanggungjawabkan secara jelas.

Selain mendorong keterbukaan dari Dinas Pendidikan, perlu ada audit independen yang mengecek kesesuaian data Dapodik, data penerima BOS, serta realisasi penggunaan anggaran di lapangan. Audit ini penting untuk memastikan tidak ada siswa fiktif, tidak ada dana yang “nyasar,” dan tidak ada permainan angka di belakang meja.

Tak kalah penting, publik juga memegang peran sentral. Orang tua murid, komite sekolah, dan masyarakat luas berhak bertanya dan mengawasi penggunaan dana BOS. Sebab, uang itu bukan milik pejabat, bukan milik kepala sekolah, tapi milik anak-anak bangsa yang berhak mendapat pendidikan layak.

Jajang Nurjaman menegaskan, jika ditemukan pelanggaran administratif atau bahkan dugaan korupsi, aparat penegak hukum harus turun tangan. “Jangan biarkan sekolah jadi ladang bancakan anggaran. Kalau ada yang main-main dengan uang BOS, itu sama saja merampok masa depan anak-anak kita,” katanya lantang.

Pertanyaan publik masih menggantung: mengapa ada selisih data siswa, dan ke mana larinya sisa anggaran jika benar ada kelebihan alokasi? Ini bukan soal angka di atas kertas, tapi soal kepercayaan rakyat pada penyelenggara pendidikan. Di tengah sorotan ini, semoga ada jawaban yang terang, bukan sekadar alasan yang kabur. Sebab, seperti kata pepatah lama, “Bukan besar kapal yang membuatnya selamat, tetapi kejujuran nahkodanya.”

(Lukman H)