OPINI  

Masyarakat Rindu Negeri Bebas Utang

Oleh : Vitriastuti S.Si.

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Utang lagi, utang lagi, seolah tak ada matinya negeri ini terus “mencetak” utang. Utang Indonesia dari waktu ke waktu semakin menumpuk.

Bank Indonesia mengumumkan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kembali naik pada Oktober 2020 menjadi US$413,4 miliar atau sekitar Rp5.828,94 triliun kurs Rp14.100 per dolar AS. Lebih tinggi dari posisi akhir September 2020 sebesar US$408,5 miliar (VIVA).

Menurut BI, ULN pemerintah pada Oktober 2020 tumbuh melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Erwin menjelaskan struktur utang luar negeri Indonesia terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 202,6 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) 210,8 miliar dolar AS (Republika.co.id).

Angka yang sangat fantastis, bukan? Tapi kenapa pemerintah bersikap “tenang” dengan utang yang menggunung ini?

Dalam sistem kapitalisme sumber pendapatkan Negara hanya bersumber dari dua hal yang pertama adalah berasal dari pajak dan yang kedua adalah bersumber dari utang. Ketika pendapatan negara yang didominasi pajak tidak mampu menutup belanja negara, solusi yang diambil adalah utang. Sehingga Utang menjadi instrumen penting dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Kondisi ini sungguh ironi bagaimana mungkin negara yang sangat kaya akan sumber daya alam malah mengalami defisit. Dan defisit itu seluruhnya ditutupi oleh utang. Meroketnya utang menunjukan kegagalan pemerintah dalam mengurusi Negara.

Karena dengan utang Negara seolah mempersilahkan hegemoni para kapitaslis untuk mencengkrang. Jika tidak mampu bayar Negara pemberi utang akan mudah untuk memeras kekayaan negeri yang diberi utang.

Negara pengutang harus melepas satu persatu asset, yang membuat pemasukan Negara sulit melejit karena pengelolaan sumber daya dikelola oleh asing atau Negara pengutang. Utang jangka panjang membuat bungga semakin banyak dan semua ini akan ditangung oleh rakyat dan generasi mendatang

Dengan dalih kemaslahatan rakyat pemerintah bersikap sangat tenang dalam menghadapi permasalahan utang, padahal utang yang menumpuk akan mengancam kedaulatan Negara dan mustahil keluar dari jeratan hutang. Negara akan mudah dikendalikan sesuai kepentingan dari pemberi utang makin lama makin kacau dan akhirnya akan bangkrut.

Dengan demikian, dapat dipastikan akibat penerapan ekonomi kapitalis, negeri ini terus-menerus berada dalam lilitan utang yang makin mencengkeram kuat. Ekonomi terus terguncang, utang masih melambung tinggi, sementara penanganan pandemi belum juga berjalan efektif.

Lantas bagaimana solusi agar Negara dapat defisit bisa terselesaikan tanpa hutang?

Dalam sistem islam APBN tidak bersumber dari pajak dan hutang. APBN dikelola oleh Baitulmall dan salah sumber pendapatanya berasal dari kepemilikian umum seperti tambang, batu bara, minyak bumi dan sumber daya alam lainnya yang dikelola oleh pemerintah. Jika dari sumber –sumber pendapatan itu tidak memenuhi kebutuhan Negara, maka Negara memiliki strategi dalam menyelesaikannya. Negara diperbolehkan untuk menjual atau menyewakan harta milik Negara untuk menutupi defisit. Lalu Negara pun berhak untuk menarik pajak pada rakyat, dan pajak ini diberlakukan hanya pada kaum muslim yang kaya. Pengambilannya bersifat sementara, jika kondisi Baitulmal telah stabil maka pemungutan pun akan diberhentikan.

Selain itu, Negara pun harus menghemat pengeluaran dengan mempertimbangkan hal apa saja yang memang dapat ditunda dalam hal pengeluarannya. Sehingga tidak perlu terburu-buru untuk memenuhinya.

Langkah terkahir untuk menutui defisit adalah dengan berhutang baik dalam atau pun luar negeri. Abdurrahman Al Maliki dalam buku As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla (2001) menjelaskan negara tidak perlu berutang, kecuali untuk perkara-perkara urgen dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan.

Sehingga hanya dalam sistem islamlah Negara bisa bebas dari utang, karena utang dijadikan solusi terakhir dalam menghadapi defisit.

Wallahu’alam.

(red)