Pakar Kesehatan; Ada Kejanggalan Tentang Banyaknya Petugas Pemilu Yang Meninggal Dunia

JABAR.KABARDAERAH.COM – KPU pusat menyampaikan jumlah anggota petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia saat melakukan tugasnya di Pemilu 2019 mencapai 377 orang. Jumlah tersebut bertambah menjadi 59 orang dari hari sebelumnya yang menembus angka 318 orang. Data ini dicatat KPU per 1 Mei 2019 pukul 09.00 WIB.

Menyoroti dari polemik banyaknya jumlah petugas pemilu yang gugur saat bertugas, pihak rumah sakit didorong membuka secara utuh catatan medis musabab petugas tersebut meninggal. Ini dinilai penting untuk menyingkirkan tudingan yang menyebut kelelahan menjadi penyebab kematian.

“Dalam terminologi kedokteran, tidak ada kematian disebabkan oleh kelelahan. Seperti yang selama ini banyak media beritakan,” kata Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Umar Zein, kepada rekan media, Rabu (1/5/2019) malam.

Mantan dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) dr Pirngadi Medan tersebut membandingkan kerja petugas KPPS dengan proyek ambisius era kolonial, Jalan Raya Anyer-Panarukan di masa Gubernur Jenderal HW Daendels pada 1808.

Semasa pengerjaan proyek tersebut, menurutnya, pribumi dipaksa bekerja membuat parit, memecah batu gunung dan mengangkat bahan-bahan yang diperlukan.

“Mereka bekerja siang malam tak tentu waktu istirahat dan makan. Namanya juga kerja dipaksa,” kata dia.

Mereka, kata Umar, pasti kelelahan dan kekurangan gizi, kehausan, kelaparan sehingga daya tahan tubuhnya melemah, akhirnya jatuh sakit.  “Banyak yang terkena malaria tropika, kejang-kejang, koma, kemudian meninggal,” ujarnya.

Dalam konteks kepemiluan saat ini, kata Umar, situasinya berbeda. Petugas KPPS yang bekerja di TPS punya kesempatan untuk beristirahat dan mengatur ritme kerjanya.

“Mereka cukup mendapatkan minuman dan makanan, bukan kerja paksa, ada waktu istirahat meski bergantian, boleh permisi bila kondisi darurat,” lanjutnya.

Menurutnya, ada tiga pintu kematian, yaitu otak, jantung dan paru. Bila otak tidak cukup mendapat oksigen oleh berbagai sebab, kata dia, misalnya penyumbatan pembuluh darah, maka terjadi kematian sel-sel otak.

“Tetapi pasien tidak langsung mati. Ada mekanisme kompensasi untuk mempertahankan kehidupan sel-sel yang lain,” ujarnya.

Bahkan kematian batang otak disebut kematian secara medis, kata dia, butuh waktu beberapa jam untuk kemudian terjadi kematian biologis setelah jantung dan paru berhenti berfungsi. Umar memastikan kelelahan petugas pemilu tidak sampai 1/1000 dari kelelahan para pekerja Anyer-Panarukan.

“Kelelahan mungkin bisa sebagai pemicu gangguan akut atau eksaserbasi dari penyakit kronik yang diidap. Namun sekali lagi, ini butuh pembuktian melalui pemeriksaan medis yang cermat,” ujarnya.

Umar berkesimpulan, ‘kejujuran’ pihak rumah sakit tentang penyebab kematian juga menjadi penting untuk menerbitkan rekomendasi dari kalangan akademisi kesehatan bagaimana agar dampak petaka kepemiluan tidak terulang kepada para petugas.

“Rekomendasi baru akan muncul jika diterbitkan jika ada investigasi soal itu,” kata dia. (red)