Penyebar Hoax Pandemi Corona Terancam Denda 1 Miliar dan 6 Tahun Penjara

JABAR.KABARDAERAH.COM . MAJALENGKA – Di tengah pandemi Covid-19, penyebaran berita bohong / hoax dan misinformasi masih banyak bertebaran di media sosial maupun di platform pesan instan. Kondisi itu
tentunya dapat membuat kepanikan di tengah masyarakat.

Pertanyaan itu diungkapkan moderator Iqbal Muharom pada diskusi online via aplikasi Zoom, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Majalengka Jejep Falahul Alam, salah seorang narasumber pada diakusi online terkait penanganan Covid-19 di Majalengka.

Diskusi daring ini dipelopori Himpunan Mahasiswa Majalengka (Himmaka) Cirebon dengan menghadirkan lima orang narasumber lainnya dari tim Gugus Tugas Covid-19, Minggu (3/5/2020).

Menjawab pertanyaan itu, Jejep membenarkan kondisi itu. Menurut dia, konten disinformasi dan misinformasi berkaitan erat dengan virus corona di dunia maya.

“Penyebaran berita bohong atau hoax dalam bentuk meme, video, tulisan, foto, di masa pandemi ini, motifnya beragam dan tidak bisa dihindari. Namun masyarakat diingatkan agar tidak ikut menyebarkannya, jika tidak ingin berurusan dengan aparat penegak hukum,” kata dia.

Dikatakan dia, dari data terbaru Kementerian Komunikasi dan Komunikasi RI, tercatat sudah lebih dari 500 kasus terkait virus corona yang beredar baik di platform, Facebook, Instagram, Twitter dan YouTube.

Dari jumlah itu, sebanyak 83 orang telah ditetapkan tersangka, 14 ditahan. Sedangkan sisanya masih dalam proses penanganan pihak yang berwajib.

Oleh karena itu, dirinya kembali mengingatkan kepada masyarakat agar tidak menyebarkan atau meneruskan hoax karena itu tindakan pidana.

“Masyarakat perlu waspada dengan ancaman hukumannya. Jika melawan bisa dijerat pasal berlapis dengan UU yang berbeda,”ucapnya.

Ancaman hukuman dimaksud,lanjut dia, UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 45, dengan ancaman pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 M.

Selain itu, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Ketika ada informasi yang masuk, lanjut dia, untuk membedakan berita hoax atau tidak, pertama cek sumber beritanya, apakah berasal dari media mainstream atau media abal-abal.

“Lakukan cek dan ricek sumber beritannya, waspadai judul provokatif dan cek seluruh isi beritanya. Jangan lupa bertanya kepada orang yang memiliki kompetensi,” sarannya.

Hal senada diungkapkan Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Majalengka H Gatot Sulaeman. Menurut dia, di tengah keterbukaan informasi, khususnya di medsos pihaknya mengajak agar masyarakat selalu berhati-hati dan mengecek setiap informasi yang diperoleh.

“Kita harus selalu cross cek terhadap suatu berita atau info,” katanya malalui pesan singkatnya.

Cek dan ricek yang dimaksud, kata dia, masyarakat bisa menghubungi pihak terkait secara langsung, berkoordinasi dengan ke media mainstream pihak terkait lainnya.

“Karena teknologi semakin canggih, suara bahkan vidio pun sekarang bisa dimanipulasi. Maka sekali lagi kita harus menyaring sebelum kita menyebarkan suatu informasi atau berita ke publik,” ujarnya. ***

(yan/kd)