OPINI  

Peran Negara Dalam Menjaga Kemurnian Ajaran Agama

Oleh. Siti Susanti, S.Pd. ; Pengelola Majlis Zikir Assakinah Bandung

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Isu terorisme kembali menghangat, setelah peristiwa pengeboman gereja di Makasar oleh sepasang pengantin baru, disusul serangan oleh terduga teroris di Mabes Polri (31/3/2021). Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat (Jabar) menginstruksikan perketat keamanan di lingkungan markas kepolisiankepolisian dan sarana-saran lain yang merupakan objek vital. (Bisnis.com, 31/3/2021).

Perang melawan terorisme mencuat setelah peristiwa pengeboman gedung kembar WTC di New York Amerika Serikat. Banyak kalangan menilai, isu terorisme kemudian digunakan negara adidaya tersebut untuk meluaskan pengaruh kapitalisme ke seluruh dunia khususnya dunia Islam. Dalam perjalanan sejarahnya, isu ini memang selalu disangkutpautkan dengan Islam dan kaum muslimin. Adapun jika dilakukan oleh non-muslim semisal peristiwa penyerangan tentara Yahudi kepada Palestina atau intimidasi terhadap etnis Rohingnya di Burma selamanya tidak ada yang mengatakan aksi terorisme, meski jumlah korban berkali lipat jumlahnya.

Narasi terorisme semakin kuat dilekatkan kepada Islam dan kaum muslimin, ketika simbol-simbol Islam seperti berkerudung atau berjenggot menjadi identitas para pelaku teror. Ditambah lagi, Al-Quran dan buku-buku Islam yang di jadikan barang bukti.

Ajaran Islam yaitu jihad, diopinikan sebagai motif aksi terorisme. Padahal, ajaran jihad yang disyariatkan sangat berbeda secara diametral dengan fenomena aksi para pelaku teror. Efeknya adalah diskriminasi ajaran Islam yaitu jihad, sehingga dianggap perlu direinterpretasi. Kemudian muncullah ide moderasi Islam, yang dianggap sebagai solusi terhadap pemahaman Islam yang dinilai radikal.

Jihad secara kata bermakna bersungguh-sungguh, namun para ulama mendefinisikannya sebagai berperang di jalan Allah SWT. Inilah makna syariat dari jihad. Sehingga, berperang merupakan bagian dari syariat, yang disebutkan penunjukannya dalam Al-quran maupun Al-hadits. Namun demikian, berjihad dilakukan di medan peperangan, sebagai bagian dari dakwah Islam, disertai adab-adab yang dijelaskan semisal tidak boleh membunuh wanita dan anak-anak yang tidak ikut berperang, serta tidak boleh merusak tempat ibadah. Dengan demikian penyerangan tempat ibadah apalagi sampai menimbulkan korban jiwa dan penyerangan ke Mabes Polri bukan hanya mencerminkan gagal paham pelaku teror terhadap kewajiban jihad, tetapi juga mencoreng ajaran Islam dan kaum muslimin.

Perilaku teror adalah tindakan tidak bertanggung jawab, menyebabkan efek yang meluas mulai dari sikap saling curiga tidak hanya antarumat beragama, bahkan antarumat Islam sendiri. Hingga merebak islamopobia (takut terhadap ajaran Islam).

Fakta bahwa terorisme merugikan Islam dan kaum muslimin menimbulkan tanda tanya besar: Untuk siapa sebenarnya pelaku teror melakukan aksi-aksinya?.

Menelisik lebih dalam, kemiskinan sistemik dan kezaliman lebih tepat dijadikan sebagai motif pelaku teror dalam melaksanakan aksi mereka. Masyarakat yang gelap mata, mudah melakukan sesuatu asal diiming-imingi sejumlah harta. Di sisi lain, hukum yang tumpul ke atas dan korupsi yang menggurita, memunculkan ghirah (semangat) perubahan. Maka kedua problem ini yang lebih urgent untuk diselesaikan dengan segera.

Ide moderasi Islam ditengarai sebagai solusi menanggulangi pemahaman Islam radikal. Keberadaan istilah tawasuth dalam al-quran, diklaim sebagai landasan ide ini. Namun dalam perkembangannya, moderasi Islam lebih mengarus kepada pemahaman yang diinginkan Barat.

Sejatinya, ide moderasi tidak dapat menyelesaikan masalah terorisme, tapi justru menumbuhsuburkan ide-ide yang bertentangan dengan Islam seperti kebebasan dan prularisme. Padahal Islam justru menghendaki umatnya untuk total dalam beragama. Sebagaimana firman Allah SWT: ” Masuklah ke dalam agama Islam secara kafah (keseluruhan) “. (TQS. 2: 208)

Islam sebagaimana namanya yang bermakna selamat, tidak hanya memberikan jargon-jargon. Namun, tuntunan syariah yang kafah dapat mewujudkan keselamatan bagi seluruh manusia, baik muslim atau kafir.

Islam mendorong setiap individu untuk berlomba dalam berbuat kebajikan dan taqwa. Melempar senyum kepada saudara, menyingkirkan duri dari jalanan, dan saling memaafkan adalah contoh-contoh syariah sederhana yang disunnahkan.

Secara prinsip, jiwa seorang manusia dianggap lebih berharga di sisi Allah dibanding dunia dan seisinya. Berbuat zalim kepada sesama makhluk adalah hal yang dibenciNya.

Keberadaan hukum qishash, membuktikan bahwa menyakiti manusia tidak bisa dianggap sepele. Pelakunya akan dihukum setimpal, meski hanya menyakiti sebuah gigi.

Dalam Islam, pelaku tindak kekerasan akan diberikan sanksi yang tegas. Apabila tindak kekerasan ini berupa bughat (pembangkangan terhadap negara dengan menggunakan senjata), negara akan melakukan perundingan. Jika insaf, dibebaskan. Jika tidak, akan diperangi.

Adapun untuk tindak kekerasan berupa pembegalan di jalan (quththa’ ath-thuruq), sanksinya bisa dengan dibunuh atau disalib, atau beberapa sanksi lainnya (lihat QS Akijn. l Maidah ayat 33).

Sistem sanksi yang tegas dalam Islam, akan efektif mencegah berbagai tindak kejahatan berupa kekerasan ataupun aksi teror lainnya.

Di sisi lain, negara berkewajiban membina keimanan masyarakat, sehingga memiliki iman yang kokoh, tidak mudah terbawa kepada ajaran-ajaran yang keliru.

Penerapan syariah dalam sistem ekonomi dan sistem politik akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian negara. Sehingga masyarakat tidak mudah diiming-imingi untuk melakukan perbuatan yang konyol, dan negara tidak mudah di intervensi oleh pihak manapun.

Demikianlah, terorisme sebenarnya dapat diselesaikan dengan menerapkan syariah Islam secara totalitas, bukan malah menyimpangkan Islam atas nama moderasi. (red)