OPINI  

Pilkada Serentak Digelar Corona Makin Mudah Menyebar

Oleh: Yuyun Suminah
(Aktivis Muslimah Karawang)

JABAR.KABARDAERAH.COM . KARAWANG – Di tengah pandemi yang tak kunjung mereda, nampaknya pilkada serentak akan tetap terselenggara. Di Jawa Barat, ada delapan daerah yang akan menggelar pesta demokrasi ini. Diantaranya, Kabupaten Bandung, Cianjur,Sukabumi, Karawang, Indramayu, Tasikmalaya, Pangandaran, dan Kota Depok. Daerah-daerah tersebut akan menggelar pesta demokrasi dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar Rifqi Ali Mubarok menjelaskan, pihaknya dan Gugus Tugas Jabar akan menyusun panduan pemilihan di masa AKB. Panduan tersebut akan mengatur penerapan protokol kesehatan pada kegiatan-kegiatan tahapan Pilkada, seperti kampanye dan rapat umum. Mekanisme yang akan dilakukan pun akan berbeda sesuai kondisi zona yang ada di daerah tersebut. Zona hijau, merah dan kuning perlakuannya akan berbeda ketika pilkada. Tak hanya itu seluruh petugas yang terlibat akan melakulan tes Usap terlebih dahulu. (prfmnews.pikiran-rakyat.com 18/07/2020)

Tidakkah memunculkan kekhawatiran jika pilkada serentak 2020 akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19? Karena pasti akan ada ribuan titik kumpul massa, baik saat kampanye atau masa pencoblosan. Sudah ada 687 pasangan bakal calon kepala daerah akan bertarung di pilkada serentak 2020. Lantas akan seperti apa kondisi wabah corona ini? Seharusnya pemerintah menutup semua celah lonjakan Covid-19 yang semakin meningkat seperti Pilkada serentak ini.

Kondisi pandemi nampaknya akan dimanfaatkan juga oleh para calon kepala daerah untuk berkampanye demi menarik simpati rakyat dengan cara membagikan masker dan hand sanitizer secara cuma-cuma (gratis). Padahal pesta demokrasi tersebut sudah pasti mengeluarkan anggaran tak sedikit. Selain anggaran untuk honor KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) disetiap daerah, anggaran penyelenggara pemilu untuk membeli masker, hand sanitizer dan lain-lain.

Sudah menjadi rahasia umum kalau pilkada dan pemilu butuh biaya mahal. Politik uang menjadi sesuatu yang “wajib” agar bisa memenangi pertarungan pemilihan. Menjadi bahaya jika semangat “balik modal” para pejabat dan pemimpin daerah menjadi yang utama. Akibatnya, kepentingan rakyat dan kemaslahatan umum menjadi prioritas kesekian.

Kerapuhan demokrasi tidak bisa diperbaiki melalui penyelenggaraan pilkada dan pemilu. Memaksakan pilkada serentak di masa pandemi yang tak tentu seperti saat ini semakin menunjukkan bahwa demokrasi tak manusiawi. Seperti itulah dalam demokrasi hanya demi kepentingan jabatan rela mengorbankan nyawa rakyatnya. Pilkada serentak tidak relevan dengan kebijakan penanggulangan penyebaran Covid-19.

Pilkada hanya “alat” demokrasi untuk menghambur-hamburkan uang rakyat. Sudah seharusnya kita berhenti berharap kepada sistem demokrasi ini. Alih-alih membawa perubahan yang baik yang ada demokrasi semakin menyengsarakan rakyat.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Islam menghargai nyawa manusia. Sistem Islam jauh lebih manusiawi karena mengutamakan keselamatan rakyat. Allah SWT berfirman, “…Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…” (QS al-Maidah [5]: 32)

Dalam sistem Islam, Wali adalah orang yang diangkat oleh Imam sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (provinsi) serta menjadi amir (pemimpin) wilayah itu. Wali harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu harus seorang laki-laki, merdeka, muslim, balig, berakal, adil dan mampu. Jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari Khalifah.

Sebagaimana Rasulullah Saw. telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy’ari di wilayah Zabid dan ‘Adn. Rasulullah Saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kecakapan dan kemampuan memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu dan yang dikenal ketakwaannya serta mampu “mengairi” hati rakyat dengan keimanan dan kemuliaan negara.

Adapun pemberhentian wali adalah hak pemimpin di dalam sistem Islam jika ia memandang perlu untuk memberhentikannya atau jika penduduk wilayah itu mengadukan walinya. Seorang wali juga tidak dapat dipindahkan (mutasi) dari satu tempat ke tempat lain. Namun, ia dapat diberhentikan dan diangkat kembali untuk kedua kalinya.

Sistem pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sebagaimana dijelaskan diatas akan lebih efektif dan efisien dalam menghemat keuangan negara. Suasana keimanan yang ada dalam sistem Islam menjadikan penyelenggaraan aparatur negara dapat berjalan dengan amanah. Kinerja pemimpin daerah akan senantiasa dikontrol Imam atau orang-orang yang ditunjuknya.

Fungsi pemimpin dalam Islam adalah mengurusi rakyatnya secara sungguh-sungguh dan melindungi rakyat, baik dari ancaman kelaparan, kemiskinan, termasuk penyakit (dalam hal ini kerawanan tertular virus berbahaya seperti Covid-19 ini). Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Saatnyalah kita beralih kepada sistem Islam kaffah. Wallahu a’lam bishshawab. (red)