OPINI  

Polemik Pembebasan Lahan Jadi Infrastruktur, Untuk Siapa?

Oleh : Kanti Rahmillah, M.Si (Pemerhati Masalah Sosial)

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Hampir di setiap pembangunan infrastruktur, menyisakan polemik pembebasan lahan. Penggusuran tanah milik warga demi keberhasilan proyek pembangunan seolah menjadi konsekuensi logis dalam memuluskan investasi. Lantas bagaimana bisa, jargon investasi asing bermuara pada rakyat, jika pangkalnya saja sudah mengorbankan rakyat?

Seperti teriakan puluhan warga Kampung Citaman, Desa Tamansaru, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, yang protes karena nilai ganti rugi pembebasan lahan Tol Jakarta-Cikampek II yang ditawarkan terlalu murah. Mereka terpaksa berpanas-panasan memblokade Jalan Badami-Loji.

Warga hanya ditawari Rp 100.000 hingga Rp 350.000 per meternya, padahal harga pasaran tanah di wilayah tersebut cukup tinggi, karena dilintasi jalan provinsi untuk akses wisata Karawang, Bogor dan Cianjur. Yakni berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta per meter (kompas.com 01/02/2020).

Terlihat 10 menit sekali puluhan ibu rumah tangga membentangkan spanduk di tengah jalan. Sedangkan para pria berorasi dan mencoret jalan dengan kata keadilan. Sungguh nahas nasib mereka, belum selesai kesusahannya karena pandemi, warga pun kini dihantui kehilangan tempat tinggalnya.

Fungsi Pemerintah hanya fasilitator

Aksi warga memblokade jalan seolah menjadi langkah frustasi, harus kemana mereka mengadu. Lantaran berbagai upaya telah dilakukan, namun minim apresiasi. Sebelumnya warga telah melayangkan permintaan harga ganti rugi dengan mengirimkan surat kepada kementrian PUPR bahkan Presiden.

Mereka pun telah bertemu dengan BPN Karawang, namun tak ada hasil. Mirisnya lagi, pemda Karawang hanya akan memfasilitasi warganya untuk bertemu pengelola proyek pembebasan lahan Tol Japek II ini.

“Kita akan fasilitasi bersama DPRD. Karena urusan ini bukan wewenang kami. Kita hanya bisa memfasilitasi saja,” ungkap Sekretaris Daerah Karawang, Acep Jamhuri (jabar.tribun.com 02/01/2020).

Sungguh disayangkan, peran pemerintah hanya bisa sebatas memfasilitasi, bukannya turut serta memperjuangkan hak warganya. Sehingga sudah bisa dipastikan tuntutan rakyat tak akan mungkin terpenuhi, karena kesepakatan antara rakyat dan pengelola proyek adalah itung-itungan materi. Dan rakyat berada pada posisi yang lemah.

Proyek Infrastruktur Merugikan Rakyat

Pemerintah telah menetapkan 54 jalan tol sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek jalan tol yang tersebar di seluruh Indonesia ini dibangun melalui pembiayaan APBN/APBD, BUMN, dan Swasta. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN yang diterbitkan pada 17/11/2020.

Salah satu di antara PSN itu adalah Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II Selatan yang dikembangkan PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Tol yang dirancang sepanjang 62 Km ini terbagi dalam tiga paket pembangunan. Yakni Paket I Jatiasih-Setu sepanjang 9,3 km, Paket II Setu-Taman Mekar sepanjang 24,85 km dan paket III Taman Mekar-Sadang sepanjang 27,85 km (kompas.com 07/12/2020).

Tol melintasi 37 desa/kelurahan di 5 daerah yakni Bekasi, Kab Bekasi, Bogor, Karawang dan Purwakarta. Secara keseluruhan lahan yang dibutuhkan untuk membangun tol mencapai 757,66 hektare yang terhampar di sekitar 3.700 bidang.

Adapun warga karawang dari kampung Citaman, sedikitnya ada 65 kepala keluarga yang harus tergusur karena proyek Tol ini. Mereka menempati 45 hektare dengan 80 bidang tanah. Sebanyak 80 persen adalah bangunan sisanya lahan kosong.

Ini baru kampung Citaman, bagaimana dengan kampung-kampung lainnya di 37 desa/kelurahan yang juga dilewati proyek pembangunan jalan tol? Di kampung Citaman saja sudah sedikitnya 65 KK yang harus terusir, maka jika dikalikan dengan banyaknya kampung dalam satu desa yang dilalui proyek ini. Lalu dikalikan dengan 37 desa, niscaya akan ada ribuan KK yang bernasib sama.

Kesengsaraan Rakyat Berlipat-lipat

Ini baru proyek Tol Japek II, bagaimana dengan pemukiman warga di proyek pembangunan infrastruktur lainnya? Padahal pemerintah telah menetapkan 54 jalan tol sebagai PSN. Ini baru pembangunan jalan tol, bagimana dengan pembangunan infrastruktur pelabuhan, seperti pelabuhan patimban? Atau pembangunan Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau pembangunan Waduk Jatigede? dan pembangunan infrastruktur lainnya? Sudah dipastikan nasib pemukiman warga setempat bernasib sama.

Lantas, apakah penderitaan warga hanya seputar polemik pembebasan lahan, yang tanahnya seringkali dihargai jauh di bawah harga pasaran? Ternyata masih banyak polemik warga akibat proyek ambisius pemerintah ini. Setelah warga kehilangan tanahnya dan dibayar dengan murah, nasib warga semakin tak karuan. Kehilangan rumah dan mata pencaharian tentu semakin menyengsarakan rakyat.

Misalnya pembangunan Pelabuhan Patimban yang menghilangkan mata pencaharian para petani dan nelayan. Lantas jika tanahnya diambil dan ikan di sekitar bibir pantai patimban menjadi hilang semenjak proyek pembangunan pelabuhan. Lalu mereka mengisi perut dengan apa? Sedangkan bekerja di pabrik tak memiliki ijasah, membuka usaha tak memiliki skil, sedangkan kebutuhan hidup semakin bertambah berat.

Ini baru polemik pembebasan lahan, bagaimana dengan kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari pembangunan infrastruktur? Apalagi semenjak Omnibus Law di sahkan, izin Amdal semakin longgar. Lihatlah kasus tanah warga yang terendam oleh pembangunan PLTA Jatigede di Sumedang.

Lebih jauh, pembangunan infrastruktur yang menggunakan skema utang dalam pembiayaannya akan semakin menyengsarakan umat. Karena utang luar negeri akan dibayar oleh APBN, sedangkan APBN sumber utama pendapatannya dari pajak. Artinya, beban pembiayaan dikembalikan pada rakyat.

Visi Infrastruktur Kapitalisme Bukan untuk Rakyat

Jika kita cermati, kemudhorotan pembangunan infrastruktur begitu besar bagi masyarakat. Polemik pembebasan lahan hingga kerusakan lingkungan tak sebanding dengan manfaatnya, seperti pembangunan tol yang jor-joran. Pastinya itu bukan untuk rakyat, tapi untuk pengusaha besar agar aliran barang dan jasa bisa lancar.

Mengapa pembangunan infrastruktur begitu massif, padahal manfaatnya tak sampai pada mayoritas masyarakat? semua ini karena visi infrastruktur negeri ini memang tak bervisi untuk melayani rakyat, tapi untuk melayani pemilik modal.

Buktinya, pembangunan infrastruktur dipusatkan di sentra ekonomi, baik untuk pemenuhan bahan baku industrialisasi perusahaan besar karena terdapat tambang, perkebunan dan SDA melimpah lainnya. Maupun untuk pasar produksi mereka, karena disitu tempat pemukiman padat penduduk. Artinya, pembangunan infrastruktur hanya untuk memuluskan eksploitasi kekayaan negeri ini dan menjadikan negeri ini sebagai huge market bagi perusahaan multinasional.

Lain cerita dengan pembangunan infrastruktur di pedesaan dan tempat-tempat yang nilai ekonominya rendah, nyaris tak pernah diperhatikan. Banyaknya bangunan sekolah yang reyot, jembatan antar desa yang tak layak, jalan rusak hingga aliran listrik yang buruk adalah secuil bukti bahwa pembangunan infrastruktur bukan untuk rakyat.

Walhasil, kesejahteraan bagi masyarakat tak terealisir. Mengapa negeri ini lebih mementingkan pemilik modal daripada rakyat? jawabanya karena sistem ekonomi yang diadopsi dan dijadikan problem solving negara kita adalah sistem ekonomi kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan pengusaha multinasional mampu menyetir seluruh kebijakan di negeri ini.

Akhirnya, pembangunan infrastruktur, industrialisasi bahkan pariwisata adalah proyek bancakan hasil kolaborasi penguasa dan para pengusaha. Sehingga jargon pembangunan infrastruktur akan kembali pada rakyat adalah bualan untuk menutupi persekongkolan mereka. Dan tak pernah terbukti menjadi solusi atas kesejahteraan rakyat yang semakin terpuruk.

Infrastruktur dalam Islam Bervisi Kemaslahatan Umat

Berbeda 180 derajat dengan visi pembangunan infrastruktur dalam Islam yang berorientasi pada umat. Sehingga fokus pembangunan infrastrukturnya pada kemaslahatan umat. Karena Khalifah memiliki kewajiban mengurusi seluruh kebutuhan umat, termasuk infrastruktur.

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)

Adapun pembiayaan infrastruktur yang besar itu bukan berasal dari utang, tapi dari Baitulmal. Aturan pembatasan kepemilikan menjadikan sumber APBN Khilafah tidak bertumpu pada pajak dan utang. Keharaman swasta apalagi asing dalam menguasai SDA yang melimpah menjadikan negara mandiri dalam proses pembangunannya, sehingga tak akan ada intervensi dalam setiap kebijakannya.

Misal seperti apa yang dikatakan Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri dalam orasi ilmiah di acara Peringatan Hari Maritim Nasioanl ke-56 tahun 2020. Rokhmin mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan yang sangat tinggi. Potensi tersebut sebesar USD 1,4 triliun per tahun. Artinya, potensi laut Indonesia setara dengan 5 kali APBN negara kita saat ini (liputan6.com 23/09/2020).

Itu artinya, jika kebijakan kita independen, bebas dari setiran pemilik modal dan penguasanya bervisi mengurusi seluruh kebutuhan umat, maka kesejahteraan bukan lagi mimpi di siang bolong. Sungguh, visi pembangunan yang pro rakyat dan penguasa yang bervisi demikian hanya akan kita temukan dalam sistem khilafah islamiyah.

Wallahu a’lam bishshawab.

(red)