OPINI  

Polemik Stunting di Indonesia

Oleh : Ummu Syam (Aktivis Muslimah Majalengka)

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Tak terasa tahun 2020 akan segera berakhir dalam beberapa hari mendatang. Tahun ini dirasa begitu sulit dikarenakan adanya pandemi global Covid-19. Virus Corona rupanya tidak mengenal orang kaya atau orang miskin, pejabat atau orang biasa, semua terkena dampaknya. Kurva penyebaran Covid-19 di Indonesia pun belum menunjukkan tanda-tanda kapan wabah Covid-19 ini akan segera berakhir.

Selain kesehatan, dampak yang tidak kalah penting adalah dari segi ekonomi. Semenjak pemerintah memberlakukan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada Maret 2020 lalu, banyak perusahaan mengalami penurunan omzet penjualan bahkan tak sedikit pula yang mengalami kebangkrutan. Dan untuk mempertahankan perusahaannya, banyak perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawannya. Tak tanggung tanggung, jumlah karyawan yang mengalami PHK dan dirumahkan dari awal PSBB sampai 31 Juli 2020 sebanyak 3,5 juta orang.

Ketika kemampuan untuk mencari nafkah menurun, hal itu berdampak kepada kesejahteraan keluarga utamanya kebutuhan gizi anak dan ibu hamil. Tak pelak, masalah stunting pun semakin mengancam balita Indonesia.

Stunting adalah kondisi dimana anak mengalami gagal pertumbuhan karena kesehatan yang kurang baik pada ibunya saat hamil dan kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal dan perkembangan anak (1000 Hari Pertama Kehidupan). Sehingga menyebabkan anak tidak memiliki tubuh sesuai dengan usianya (kerdil). Anak yang mengalami stunting dia akan mengalami berbagai macam masalah di kemudian hari, seperti masalah pada kecerdasan, sistem imun dan lebih tinggi berisiko mengalami berbagai penyakit diabetes, jantung, stroke, dan kanker.

Dilansir dari Jawa Pos (23/6/2020), Indonesia sendiri menduduki peringkat kedua di dunia dan urutan keempat di Asia Tenggara dalam hal balita stunting. Sebelum pandemi, Kementerian Kesehatan melakukan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) dan hasilnya sangat mencengangkan yakni sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting pada tahun 2019. Prevalensi balita stunting di Indonesia pada 2019 yaitu 27,7 persen. Jumlah yang masih jauh dari nilai toleransi yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang seharusnya di bawah 20 persen. (Selasa, 22/12/2020)

Masalah stunting adalah masalah yang sangat serius. Pasalnya, jika stunting pada balita tidak segera ditangani maka di masa depan generasi Indonesia akan rentan terhadap penyakit yang mempengaruhi kemampuan kognitif mereka, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi produktivitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mana berdampak pada menurunnya daya saing nasional.

Padahal, Indonesia diprediksi pada tahun 2030-2040 akan mengalami bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih banyak dibandingkan usia non produktif (anak-anak dan lansia). Jika masalah stunting tidak bisa ditangani atau seminimalnya ditekan angkanya, maka bonus demografi tersebut akan sia-sia saja jika generasi Indonesia sedari 1000 hari pertama kehidupannya sudah mengalami stunting.

Kompleksitas permasalahan stunting yang multidimensional ini menuntut penanganan dan tanggung jawab dari semua pihak baik dari multisektor (mencakup intervensi sensitif dan spesifik), multipihak, serta konvergen di tingkat kabupaten/kota dan desa.

Dalam hal ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Muhajir Effendi bahwa presiden Joko Widodo menginginkan dari 21 badan hanya satu badan yang menangani persoalan stunting di negeri ini, agar hasilnya lebih maksimal sehingga target penurunan prevalensi stunting dari 27,7 persen menjadi 14 persen pada 2024 mendatang bisa terealisasi.

Pertanyaannya, bisakah negara melakukannya? Bisakah dengan hanya satu badan yang menangani masalah stunting, negara mampu memberikan jaminan dan perlindungan kepada keluarga Indonesia agar mampu tumbuh kembang secara optimal? Termasuk dalam hal kemudahan mendapatkan akses terhadap asupan tinggi gizi dan pelayanan kesehatan, sehingga memiliki ketahanan dalam menghadapi stunting?

Jika sebelum pandemi saja, sebanyak 6,3 juta balita Indonesia mengalami stunting yang artinya memberikan sinyal bahwa mayoritas ekonomi masyarakat kita tidak memadai (miskin) ditambah adanya kesenjangan sosial yang begitu tinggi. Bagaimana bisa di kondisi yang masih pandemi ini dan dengan target 4 tahun, negara mampu menurunkan angka stunting? Sedangkan ekonomi negara sedang mengalami resesi, 3,5 juta pekerja mengalami PHK, bantuan sosial untuk kebutuhan pangan tidak mencukupi, ditambah dana bantuan sosialnya dikorupsi sebanyak Rp.17 Milyar, pengalihan lahan persawahan menjadi lahan pabrik terus bergulir, dan bahan pangan yang tak henti diekspor ke luar negeri sehingga menyebabkan harga bahan pangan di dalam negeri melonjak tajam.

Maka, prevalensi stunting dapat diturunkan dengan hanya ditangani oleh satu badan dan dengan merancang UU pembangunan keluarga adalah mimpi kosong belaka. Fakta yang terjadi di masyarakat telah lebih dulu mengkonfirmasi bahwa negara telah gagal menjamin kesejahteraan salah satunya dengan memenuhi pangan bergizi bagi masyarakat yang bisa mencegah stunting pada balita.

Semua ini tersebab sistem Kapitalisme yang diterapkan oleh negeri ini. Sistem ini begitu diskriminatif karena pro terhadap kepentingan modal, sehingga menjadikan untung-rugi sebagai orientasinya.

Sistem ini selalu menganggap rakyat sebagai beban, tak terkecuali pada masalah stunting ini. Pemerintah menyebut potensi kerugian ekonomi pada stunting telah menghabiskan sekitar 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp.260 Triliun sampai Rp.390 Triliun per tahun.

Inilah bentuk lepas tangannya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal tersebut terjadi dikarenakan pemerintah hanya difungsikan sebagai pelaksana regulasi untuk memenuhi ambisi para pemilik modal yang telah membantu mereka untuk meraih tampuk kekuasaan. Selain itu, sistem Kapitalisme pun telah gagal dalam mengelola distribusi logistik pangan di masyarakat sehingga tembok ketimpangan sosial semakin menganga.

Bagaimana Solusi Islam?

Tidak ada banyak umat Islam yang tahu bahwa Islam adalah problem solving, bahwa Islam juga mengatur dalam urusan bernegara. Kebanyakan umat Islam hanya tahu bahwa Islam adalah agama yang mengatur aspek ibadah ritual saja. It’s ugly truth.

Di dalam Islam, posisi sebagai seorang penguasa adalah posisi yang paling tidak diinginkan oleh siapa pun. Tugas yang harus dipikul di dunia berat karena mengurusi hajat hidup orang banyak, pertanggungjawaban yang harus dipikul di akhirat pun tidak kalah beratnya.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, human error itu bisa saja terjadi tetapi tidak dengan system error. Sistem Islam sempurna dan tidak akan ada yang mengalahkan kesempurnaannya.

Islam kaaffah yang diterapkan dalam naungan Negara Islam terbukti selama 14 abad lamanya mampu memberikan kesejahteraan kepada setiap warga negaranya, tidak peduli apakah dia muslim atau non muslim. Kesejahteraan tersebut dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam menuturkan ada beberapa kebijakan khalifah/penguasa dalam menjamin setiap individu rakyat, di antaranya adalah:

Pertama, Islam memerintahkan setiap laki-laki untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya.

Negara bertanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan warga negaranya. Jaminan berupa pendidikan dan kesehatan gratis serta keamanan.

Jaminan tidak langsung berupa penyediaan lapangan pekerjaan yang besar. Agar negara bisa bisa menyediakan lapangan kerja yang sangat besar maka negara harus menguasai pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Pengelolaan SDA secara mandiri ini akan membuka lapangan kerja di banyak lini, mulai dari tenaga ahli hingga tenaga terampil. Sehingga tidak ada lagi pengangguran. Apalagi jika pengelolaan SDA secara mandiri dilakukan di semua jenis SDA.

Selain itu, negara akan menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif, di antaranya dengan sistem administrasi dan birokrasi yang mudah, cermat dan tanpa pungutan.

Kedua, Jika individu tersebut tidak mampu bekerja, maka dialihkan kepada ahli warisnya.

Ketiga, Jika kerabat tidak ada/tidak mampu maka beban itu beralih kepada Baitul Maal/negara.

Keempat, Islam menetapkan kebutuhan dasar berupa pelayanan yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan mutlak dijamin oleh negara. Pemenuhan tiga pelayanan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat tak terkecuali dan langsung menjadi kewajiban negara. Sehingga, pendapatan keluarga hanya dialokasikan untuk kebutuhan pokok.

Semua jaminan tersebut didukung oleh pendapatan negara di Baitul Maal yang memiliki beberapa sumber:

1. Hasil pengelolaan kepemilikan umum.
Yaitu kekayaan yang jumlahnya tidak terbatas seperti tambang mineral, migas, batubara, emas dan lainnya.

2. Hasil pengelolaan fa’i, kharaj, ghanimah, jizyah, usyur, dan harta milik negara lainnya dan BUMN selain yang mengelola harta milik umum.

3. Harta zakat. Hanya saja zakat bukan mekanisme ekonomi melainkan ibadah yang ketentuannya bersifat tuqifi baik pengambilannya maupun distribusinya.

4. Sumber pemasukan temporal di antaranya adalah infaq, waqaf, sedekah dan hadiah, harta ghulul (haram) penguasa, harta orang murtad, harta warisan yang tidak ada ahli warisnya, dharibah/pajak; dll.

Semua kebijakan ini akan mencegah kelaparan pada perempuan/ibu dan anak serta terpenuhinya pangan dan gizi mereka. Pengaturan yang sedemikian sempurna ini seharusnya memantik rasa keislaman setiap umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem yang mengatur kehidupan ini. Wallahu a’lam bish-shawab.

(red)