Industri Tekstil Terpuruk! Impor Tekstil Besar-Besaran Serbu Pasar Lokal

BANDUNG . JABAR.KABARDAERAH.COM — Ikatan Alumni (IKA) ITT-STTT-Politeknik STTT Bandung menyelenggarakan Indonesia Future Textile Partner Forum yang dihelat di Nexa Mercure Hotel Kota Bandung, Senin kemarin (11/9).

IKA ITT-STTT-Politeknik STTT Bandung periode 2023-2027 yang dipimpin oleh Riady Madyadinata itu menyelenggarakan forum berbentuk diskusi panel dengan tajuk Bedah Tuntas Problematika Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) Nasional Menuju Masa Depan Pertekstilan Indonesia.

Stakeholder tripartit hubungan industrial hadir pada forum tersebut untuk mengkaji persoalan yang tengah dihadapi industri tekstil saat ini, serta penawaran solusi yang diharapkan dapat terlaksana oleh para pemangku kebijakan terkait.

Hadir sebagai pembicara di antaranya yaitu Redma Gita Wirawasta selaku Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia atau APSyFI, Iwan Setiawan Lukminto dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Desi Sulastri Wakil Ketua Umum PPTJB, Ristadi Presiden KSPN Nusantara serta Asep Chaerullah selaku Dewan Pengawas IKA.

Acara tersebut berlangsung hangat dengan dimoderatori oleh Ketua Dewan Pakar IKA, Elis Masitoh. Turut hadir sebagai penanggap diskusi panel yaitu perwakilan dari Kemenko Perekonomian RI, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Ketenagakerjaan serta hadir perwakilan dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI.

Pada forum diskusi tersebut, diketengahkan pernyataan agar membangun industri TPT nasional untuk bisa berdaya saing global. Indonesia merupakan negara dengan potensi daya saing industri tekstil maju secara global, hal itu didukung dengan tersedianya sumber daya manusia yang cukup untuk membangunnya.

Iwan S Lukminto, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman juga mengungkapkan bahwa terdapat impor tekstil besar-besaran yang masuk ke pasar Indonesia. Ini ditutupi dengan nilai value ekspor yang seakan-akan surplus sebesar 30 persen dibandingkan dengan value impor.

Diketahui bahwa value impor TPT per periode Januari-April 2023 yaitu sebesar USD 2,55 miliar. Namun pada kenyataannya volume barang tekstil dan produk tekstil yang masuk pada periode yang sama yaitu sebesar 559 ribu ton sedangkan volume ekspor hanya sebesar 593 ribu ton.

“Ini menunjukkan bahwa negara-negara asal impor kita melakukan dumping dengan harga sangat rendah bahkan ada indikasi memasukan barang bekas sehingga mengakibatkan turunnya utilisasi industri TPT nasional,” terang Iwan (11/9).

Persoalan daya saing, Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa hal itu menyangkut persoalan power dan manpower, yaitu soal energi dan tenaga kerja yang membangunnya. Ketersediaan dan distribusi energi itu tentunya diatur oleh negara, baik listrik, gas dan batu bara.

Seperti diketahui, industri hilir tekstil Indonesia seperti garmen dan produsen pakain jadi lainnya saat ini banyak mengeluhkan bahan baku lokal yang mahal, hal itu juga tidak terlepas dari pekaian energi yang dibutuhkan industri hulu dalam proses produksi.

“Seperti contoh China rata-rata harga gas industri itu 4 USD/ MMBtu, India bahkan USD 2/MMBtu, sedangkan kita 9,8 dollar per MMBtu. Dari situ kita melihat bahwa pengaturan harga energi oleh pemerintah bahkan tidak berpihak pada kita (industri tekstil),” kata Redma.

Redma menambahkan bahwa industri tekstil bukan meminta perlindungan dari pemerintah. Industri tekstil meminta adanya fairness competition atau kompetisi yang sehat di pasar lokal.

Seperti contoh, sekarang ini perusahaan-perusahaan dengan fasilitas KITE (Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor) tidak perlu membayar bea masuk dan PPN, tapi kalo bahan baku yang memakai hasil industri lokal, masih harus bayar PPN. Ini menjadi biaya tambahan bagi pelaku industri yang menyebabkan banyak produsen akhirnya beralih menjadi importir.

“Jadi saat ini industri tekstil ini kan digadang-gadang merupakan pejuang devisa dan penggerak tenaga kerja Indonesia, tapi kebijakan-kebijakan pemerintah justru banyak tidak berpihak pada industri tekstil,” ungkap Redma (11/9).

Di lain pihak, Ristadi Presiden KSPN Nusantara menyatakan bahwa pemerintah tidak serius menjalankan program industri tekstil sebagai industri strategis nasional. Ia mengungkapkan beberapa poin yang dilakukan pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan pembangunan industri.

Diantaranya yaitu pemerintah tidak mampu memberantas impor TPT ilegal. Lalu adanya indikasi oknum pejabat pemerintah yang memberikan keleluasaan izin impor, hingga kebijakan energi dan pajak juga tidak berpihak pada pembangunan industri.

Ristadi menambahkan bahwa merujuk data dari Kementerian Perindustrian, ada sebanyak 345 ribu tenaga kerja sektor tekstil yang mendapat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepanjang tahun 2022. Juga fakta banyaknya barang-barang TPT luar negeri dipasar domestik yang harganya lebih rendah dari harga produk TPT yang diproduksi produsen TPT dalam negeri. Hal ini terjadi kata Ristadi, diindikasikan karena tidak terkendalinya importasi legal dan ilegal barang TPT.

Ristadi Presiden KSPN Nusantara juga sepakat bahwa dikarenakan kompleksnya persoalan ITPT nasional dan juga perlunya pengaturan secara komprehensif industri ini, maka diperlukan satu lembaga pemerintah atau badan tersendiri yang memiliki otoritas dan kewenangan khusus untuk industri tekstil. (**)

Laporan : Agus Liwaya (Pengurus IKA ITT-STTT Politeknik STTT Bandung Periode 2023-2027)