OPINI  

Boikot Produk Prancis, Efektif kah?

Oleh : Ummu Syam (Aktivis Muslimah Majalengka)

JABAR.KABARDAERAH.COM . MAJALENGKA – Pada 2 September 2020 silam, majalah satire Charlie Hebdo memutuskan untuk menerbitkan kembali kartun Nabi Muhammad Saw. Hal itu memantik kemarahan umat Islam.

Sikap sentimen Charlie Hebdo terhadap Islam tersebut mengakibatkan jatuhnya korban. Adalah Samuel Paty (47), seorang guru sejarah menjadi ‘tumbal’ karena ulah Charlie Hebdo. Kepalanya dipenggal oleh muridnya sendiri, Abdoullakh Anzorov (18) karena ia menunjukkan kepada murid-muridnya kartun Nabi Muhammad Saw pada dialog kebebasan berekspresi. Anzorov mengeksekusi Paty ketika Paty dalam perjalanan pulang setelah mengajar.

Apa yang dilakukan oleh Paty tersebut mendapatkan pujian dari presiden Prancis, Emmanuel Macron. Dikutip dari BBC Indonesia (25/10/2020), pada sebuah upacara, Macron memuji apa yang dilakukan oleh Samuel Paty dan bersumpah untuk “melanjutkan perjuangan kebebasan berpendapat, perjuangan untuk mempertahankan Republik tersebut”. Macron pun mengatakan bahwa Prancis “tidak akan melepaskan kartun kami”.

Tidak hanya itu, pada awal Oktober lalu, suami dari Brigitte Marie-Claude Trogneux ini menggambarkan Islam sebagai agama “dalam krisis”, dan mengumumkan rencana pembuatan undang-undang yang lebih ketat untuk menangani apa yang disebutnya “separatisme Islam” di Prancis.

Hal tersebut yang menyebabkan gelombang protes besar-besaran terjadi di Prancis bahkan di seluruh dunia yang berujung pada pemboikotan produk-produk Prancis. Pernyataan Macron tersebut sejatinya telah mendiskreditkan Islam. Erdogan bahkan menyebut Macron ‘perlu perawatan mental’.

Ini bukanlah kali pertama Prancis menghina Islam. Sebelumnya Prancis pernah melarang pemakaian cadar bagi wanita muslim. Bahkan pada 2016 lalu, polisi Prancis pernah memaksa wanita muslim yang sedang berenang di pantai untuk mencopot burkini yang dikenakannya.

Penghinaan-penghinaan yang dilakukan Prancis terhadap Islam dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression), untuk mengukuhkan sekularisme di negeri penghasil roti La Croissant (roti bulan sabit) tersebut. Apa yang dilakukan Prancis sejatinya memberikan sinyal bahwa Prancis negara yang tidak tahu diri, atau dalam peribahasa menyebutnya sebagai “kacang lupa kulitnya.”

Prancis lupa akan jasa Daulah Khilafah Turki Utsmaniyyah di bawah kepemimpinan khalifah Sulaiman Al-Qanuni. Pada saat itu, Raja Prancis, Fransis I ditawan oleh Kerajaan Spanyol. Ia meminta bantuan kepada Kekhilafahan Turki Utsmani guna membebaskan Prancis dari pendudukan Spanyol. Bergeraklah angkatan laut Turki Utsmani, di bawah laksamana laut Turki Utsmani Khairuddin Barbarosa, untuk membebaskan kota-kota di Prancis dari Spanyol. Maka, ditaklukkan lah kota Nice dan Pulau Korsika.

Prancis pun sepertinya lupa, ketika dulu Prancis membuat pertunjukan dansa, Sulaiman Al-Qanuni langsung mengirimkan surat untuk raja Prancis.

“Telah sampai padaku berita bahwa kalian membuat dansa mesum antara laki-laki dan perempuan. Jika suratku ini telah sampai padamu, pilihannya: kalian hentikan sendiri perbuatan mesum itu atau aku datang kepada kalian dan aku hancurkan negeri kalian.”

Setelah surat tersebut sampai kepada raja Prancis, pertunjukkan dansa di Prancis berhenti selama 100 tahun. Begitulah hebatnya kekuasaan Daulah Khilafah, karena kehebatannya Khilafah ditakuti oleh negara-negara kafir.

Meskipun begitu, khalifah tidak semena-mena kepada non muslim. Bagi kafir dzimmi, yaitu orang-orang kafir yang bersedia hidup dalam naungan Islam maka darah, harta dan kehormatannya dilindungi oleh Daulah Khilafah dengan syarat membayar Jizyah. Bahkan, pernah dikisahkan pada kepemimpinan Umar bin Khattab, ketika seorang Yahudi tua tidak mampu membayar Jizyah, Umar bin Khattab membebaskannya dari membayar Jizyah. Betapa Islam adalah agama yang memanusiakan manusia.

Namun kini, Prancis menjatuhkan kemuliaan syariat Islam dengan menghinanya. Jauh sebelum Islam dihina melalui majalah Charlie Hebdo, di bawah persekongkolan jahat antara Prancis dan Inggris, Daulah Khilafah ditikam hingga runtuh pada 3 Maret 1924. Negeri-negeri Islam disekat-sekat menjadi 50 negara lebih.

Penghinaan Prancis terhadap Islam seharusnya membuat umat Islam sadar kemudian bangkit. Bahwa yang membuat umat Islam hancur adalah ketika umat Islam meninggalkan agamanya, bahwa umat Islam akan terus menjadi sasaran musuh Islam karena tiadanya institusi pelindung umat, yaitu Khilafah.

Pemboikotan produk Prancis sebenarnya sah-sah saja, menandakan masih ada ‘nyawa’ di dalam tubuh umat Islam. Tetapi jika umat Islam mau totalitas, yang paling utama adalah memboikot sekularisme dan liberalisme yang diusung Prancis dalam slogan negaranya: Liberté (kebebasan), Égalité (keadilan), Fraternité (persaudaraan).

Memboikot produk Prancis hanya akan menjatuhkan saham Prancis tetapi tidak mematikan sekularisme dan liberalisme itu sendiri. Berkaitan dengan produk, maka selama produk tersebut tidak berkaitan dengan Hadlarah (peradaban), maka sah-sah saja untuk menggunakannya. Sama seperti Facebook yang kita gunakan, padahal foundernya adalah seorang Yahudi. Atau Microsoftnya Bill Gates yang kita gunakan untuk memudahkan pekerjaan dan tugas sekolah.

Berbeda halnya dengan sekularisme, liberalisme, pluralisme, hedonisme, nasionalisme, patriotisme, paham-paham itu sudah berkaitan dengan peradaban asing yang semestinya kita harus segera men-shut down nya, memboikotnya. Paham-paham itulah yang telah meracuni pemikiran umat Islam. Paham-paham itulah yang sudah memporak-porandakan sendi-sendi kekuatan umat Islam.

Umat Islam saatnya bangkit, bersatu bergandengan tangan untuk mempertahankan harga diri dan kedaulatan Islam. Karena bila Kita bersatu tak ada satu kekuatan pun yang dapat merendahkan Kita, Sebab Kita umat terbesar. Wallahu A’lam Bish-Shawab. (red)