OPINI  

Harapan Rumah Impian Para Guru, Akankah Terwujud ?

Oleh ; Siti Susanti, S.Pd.
Pengelola Majlis Zikir Assakinah Bandung

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Siapakah orang yang paling berjasa dalam kehidupan seseorang?, Pasti guru salah satunya. Tanpanya, hidup akan menjadi gelap gulita tanpa ilmu. Guru, sering disematkan padanya pahlawan tanpa tanda jasa, karena ia memberi ilmu, tenaga, dan waktu dengan kesabaran. Namun seringkali tidak berbanding lurus dengan penghargaan terhadap jasa-jasanya.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jawa Barat untuk guru adalah program yang diberi nama Bakti Padamu Guru (Bataru), diantaranya berupa program rumah bersubsidi. Tahap pertama disiapkan 10.000 unit, harga per unitnya sekitar Rp 150 juta. Pemprov Jabar mencatat, sebanyak 4.900 rumah sudah siap huni. Dari jumlah ini, sudah ada 1.800 pemohon.( Republika.co.id, 18/2)

Namun, tentunya program ini bukan cuma-cuma. Para guru dan tenaga kependidikan lainnya bisa berkesempatan memperolehnya jika dapat mencicil sebesar 900ribu rupiah perbulannya, dengan uang muka 8-10juta. Lantas, dari mana mereka akan mendapatkannya?. Padahal selama ini saja sulit. Bahkan, menjadi rahasia umum ijazah diantara mereka tergadaikan untuk menutup kebutuhan, dan juga banyak ditemukan para guru yang merangkap pekerjaan lain karena keterpaksaan.

Jadi, nampaknya mimpi untuk memiliki rumah idaman masih sebatas mimpi, apalagi untuk mendapatkan kesejahteraan. Padahal, di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 40 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Sehingga bisa dikatakan, ini adalah solusi tambal sulam pemerintah yang tidak menyentuh akar permasalahan. Problem ini muncul adalah akibat penerapan kapitalisme. Dalam sistem ini, pemenuhan kebutuhan asasi termasuk rumah diserahkan kepada masing-masing rakyat. Mereka yang mampu akan berkesempatan memiliki rumah. Dan sebaliknya, banyak fenomena rakyat yang tidak memiliki tempat tingal. Begitupun dengan para guru, untuk memiliki rumah nampaknya masih harus melalui proses yang panjang. Maka Ironis, ketika aturan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam paradigma kapitalisme, kebutuhan rakyat kerap kali berbenturan dengan kepentingan para kapital atau pemilik modal. Terbukti, kebijakan yang selama ini dibuat akhirnya tidak terlepas dari tuntutan keuntungan untuk sang pemilik modal demi kelancaran bisnis semata.

Selain itu, konsep otonomi daerah yang diadopsi sistem kapitalisme, mengakibatkan keterbatasan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di daerahnya. Seringkali juga terjadi, lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah dalam menangani urusan masyarakat.

Adapun dalam Islam, menuntut ilmu adalah bagian dari kewajiban. Allah SWT meninggikan derajat bukan hanya bagi orang beriman, tetapi juga kepada orang berilmu, sebagaimana firmanNya dalam Qur’an Surat Al Mujadalah ayat 11, Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang beriman dan berilmu diantara kalian beberapa derajat. Demikian pula, Nabi SAW mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, diantara haditsnya berbunyi : “Maukah kutunjukkan kepada kalian amal para pahlawan? Ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, apakah amal para pahlawan itu?” Beliau menjawab: “Menuntut ilmu, karena ia adalah cahaya orang mukmin di dunia dan akhirat”. (HR. Hakim).

Sehingga, penghargaan terhadap ilmu dan guru sebagai penyampainya merupakan bagian dari adab Islam yang sangat diperhatikan. Buktinya sangat mashur, diantaranya pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pengajar digaji sebesar 15 dinar/bulan atau sekitar Rp 31.875.000,- ( 1 dinar = 4,25 gram. Dan jika 1 gram = Rp 500.000).

Atau di zaman Shalahuddin al Ayyubi, gaji guru malah lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar. Artinya gaji guru bila di kurs dengan nilai saat ini adalah Rp 23.375.000,- sampai Rp 85.000.000,-. Luar biasa bukan?

Selain itu, Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat adalah kewajiban negara, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Artinya, negara menjamin setiap warga negaranya bisa memenuhi seluruh kebutuhan asasinya yaitu berupa sandang, pangan, dan papan secara mudah. Manifestasinya negara bisa memfasilitasi rakyat memiliki rumah secara mudah, murah, bahkan gratis. Istimewanya, pemenuhan ini bagi seluruh rakyat, siapapun ia, apapun profesinya.

Dalam Islam, pemilik shalahiah (kewenangan) pengaturan urusan rakyat hanya berada di tangan imam/khalifah (kepala negara). Hal ini sebagaimana salah satu hadits Nabi Besar Muhammad SAW: ” Imam adalah penanggung jawab urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan itu”. Khilafah dapat menunjuk sesorang yang dapat membantu urusannya seperti gubernur, walikota, maupun sekedar pegawai. Namun mereka bukan pemilik kewenangan. Sehingga apa-apa yang mereka lakukan sebatas yang ditentukan oleh khalifah dan tidak boleh menyelisihinya. Dengan mekanisme seperti ini, tidak akan terjadi adu lempar tanggung jawab dalam pengurusan rakyat.

Lantas, dari manakah pemenuhan anggaran biaya pemenuhan kebutuhan asasi rakyat?. Ini tidak lain bersumber dari struktur negara khilafah yang disebut Baitul Mal. Pemasukan Baitul Mal diantaranya dari kepemilikan umum. Dalam Islam kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh swasta/individu. Ia adalah milik bersama, sebagaimana hadits Nabi SAW : “kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, api, dan padang gembalaan”. Ulama kemudian mendeskripsikan kepemilikan umum secara lebih detil, yaitu mencakup:
1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll.
2) Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
3) Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).

Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum muslim, regulasinya diatur oleh negara. Khalifah, selaku pemimpin negara, bisa berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum muslim demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.

Dengan perbedaan ini, berharap kepada kapitalisme untuk menyejahterakan guru bak pungguk merindukan bulan. Adapun Islam, secara normatif dan empiris nyata kemuliaanya dan telah terbukti dapat menyejahterakan guru. Seharusnya hal ini mendorong untuk menjadikan Islam sebagai pengatur kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan.

Wallahu a’lam.

(red)