OPINI  

Hati Yang Mati Dari Para Koruptor Bansos, Haruskah Dihukum Mati?

Penulis ; Lilis Suryani.

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Pandemi masih berlangsung, rakyatpun dengan sekuat tenaga masih mencoba bertahan di tengah ancaman terpapar Virus Covid 19 dan ancaman kelaparan, karena resesi ekonomi yang turut serta mempersulit kondisi yang terjadi. Dibalik semua usaha rakyat untuk bertahan hidup, terkuak tabir gelap sebuah kasus korupsi yang menyakitkan. Betapa tidak, bantuan yang seharusnya mengalir kepada rakyat akibat terdampak Pandemi  Covid 19 justru dikorupsi oleh Mentri Sosial nya sendiri.

Dikutip dari CNN Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang sekitar Rp.14,5 miliar dalam kasus dugaan korupsi program bantuan sosial (Bansos) pandemi Covid-19, yang juga menjerat Menteri Sosial Juliari P. Batubara.

Kasus dugaan korupsi Bansos Covid-19 ini terungkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) terhadap enam orang, termasuk pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso. Rupanya, dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat tak luput dalam jerat korupsi. Tak tanggung-tanggung, nilai kerugian negara akibat kasus korupsi bahkan mencapai triliunan rupiah.

Kasus korupsi ini menambah deret panjang kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Hanya selisih kurang dari dua minggu, yang sebelumnya Mentri kelautan dan perikanan Edhy Prabowo juga ditangkap KPK dengan dugaan suap terkait izin ekspor Benih Lobster. Belum lagi jika kita berbicara kasus Mega korupsi yang sampai kini belum tuntas diselesaikan aparat hukum. Seperti Jiwasraya, Asabri, Bank Century dan kasus lainnya yang nilainya sangat fantastis, hingga triliunan rupiah.

Bayangkan jika seandainya uang yang dikorupsi dikumpulkan, lalu digunakan untuk Kesejahteraan rakyat. Mungkin, rakyat tidak akan sesulit ini saat mengalami Pandemi. Namun, semua itu tentu tidak akan terjadi di negara kapitalis sekuler seperti yang diadopsi oleh negara kita saat ini.

Cacat bawaan sistem kapitalis sekuler yang mempunyai tujuan bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia, melainkan juga untuk memuaskan nafsu manusia (kebutuhan sekunder), Padahal kebutuhan dasar dan nafsu manusia yang tidak dilandasi dengan nilai-nilai spiritual sifatnya menjadi tak terbatas.

Itulah yang menjadi dasar merebaknya kasus korupsi di negara kita, Para penguasa hanya berfikir pemuasan kebutuhan dan nafsu nya semata. Sedangkan terhadap kepentingan rakyat, cenderung abai dan tidak peduli.

Padahal, mayoritas para penguasa itu muslim. Namun, karena pengaruh sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini yang mengkondisikan para penguasa menjadi para pemuja dunia. Seandainya Islam dijadikan pula sebagai dasar dalam bernegara, bukan hanya sebatas pada aktivitas ibadah individu saja, mungkin hal ini tidak akan terjadi.

Banyaknya kasus korupsi juga bisa disebabkan hukuman yang diberikan terhadap koruptor di Indonesia belum memberikan efek jera. Perampok uang rakyat yang merugikan negara sampai triliunan tersebut rata-rata masih dihukum ringan oleh pengadilan.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019, rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap koruptor hanya 2 tahun 7 bulan. Ini sangat ringan, tidak setimpal dengan perilaku korupsi itu sendiri. Bahkan, tidak sedikit terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan.
Pada kasus korupsi Bansos ini, ada usulan bahwa pelakunya harus di hukum mati. Wacana tersebut bukan kali pertama diusulkan, namun karena carut marut sistem demokrasi, serta bobroknya mental para pejabat yang melegalisasi hukum, akhirnya wacana tersebut hanya tinggal wacana.

Lain halnya di dalam Islam, dalam konsep Islam teladan dari pemimpin menjadi sangat penting dalam menuntaskan kasus korupsi. Pemimpin memiliki kewenangan dan pengaruh paling tinggi. Dengan kewenangan itu, ia bisa melakukan segala daya agar usaha penting ini bisa berhasil. Pemimpin yang bersih, tidak korup dan tegas dalam menindak para pelaku korupsi akan memberikan pengaruh sangat besar, bukan hanya kepada aparat birokrasi, tetapi juga kepada masyarakat luas. Akan berkembang atmosfer anti korupsi yang sangat kuat di tengah masyarakat.

Adapun, untuk menghilangkan budaya korupsi sebenarnya Islampun sudah mempunyai mekanisme alami didalm mencegah seseorang agar tidak berbuat kefasadan yaitu keimanan yang kokoh sehingga para penguasa selalu merasa diawasi oleh Allah SWT di dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Pemimpin di dalam sistem Islam tercermin dalam prilaku Khalifah Umar bin Abdul Azis misalnya, Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada kaum Muslimin (Al-lhya’, Al-Ghazali). Secara fiqh, mencium bau minyak wangi orang lain tidak haram, tetapi demikianlah sikap kehati-hatian Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Adapun, cara mengatasi korupsi selain dengan keteladanan pemimpin, juga harus ada ketegasan hukum untuk para pelaku korupsi dalam hal ini tentu dengan penerapan syariat secara kaffah, yang akan membuat jera para pelaku korupsi. Di dalam Islam Korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada Khalifah atau qadhi (hakim). Rasulullah saw. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban). Adapun, bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

Selain itu, melalui kontrol langsung dari Pemimpin dan masyarakat secara umum kepada para pejabat pemerintah, akan membuat mereka berfikir ulang jika harus melakukan korupsi. Untuk itulah, sudah saatnya kita menyadari bahwa dengan penerapan syariat Islam lah yang akan menjadi solusi bagi permasalahan negeri, dalam menyelesaikan korupsi yang telah membudaya sekalipun.

Wallahua’lam

(red)