OPINI  

Kamuflase Ngulik (Akal bulus) Pungutan Liar Dunia Pendidikan

OPINI . JABAR.KABARDAERAH.COM — Ingat lagu ”Guru Oemar Bakrie” yang rilis pada tahun 1981 di nyanyikan Iwan Fals kisah seorang guru Jujur old-fashioned (kuno) yang harus bisa berdinamika di kehidupan sekolah di kota besar dengan gaji yg di kebiri, Sungguh miris beda dengan sekarang Negara sudah menaikan upah dan tunjangan lebih besar dari biasanya malah banyak praktik pungli di sekolah dan saat ini dilakukan lebih rapih.

Komite sekolah mengemas pungutan liar tersebut seakan-akan berdasarkan pada kesepakatan bersama antara pihak sekolah, komite sekolah, dan orangtua/wali murid.

Dimulai dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di seluruh Indonesia . Ada yang masih dalam tahap verifikasi dan validasi oleh sekolah, bahkan sudah banyak daerah mulai dari jenjang SD sampai SMA untuk jalur zonasi, prestasi akademik, prestasi non-akademik, afirmasi, serta jalur anak tenaga kesehatan yang meninggal dalam upaya penanganan Covid-19 telah diumumkan beberapa pekan lalu.

Masalah klasikal yang terus ada dalam PPDB, seperti pungutan liar, masih menjadi tajuk berita yang terus naik di media massa kita. Sepertinya, pungutan liar ini masalah yang akut dalam sistem pendidikan di Indonesia, seperti guru di suatu institusi sekolah melakukan praktik pungli dengan janji dapat meloloskan calon siswa, pungutan dengan nominal tertentu dan waktu yang telah ditentukan untuk biaya pembangunan gedung, memaksa agar calon siswa yang diterima membeli seragam di sekolah tersebut, koprasi sekolah, koprasi siswa,buku pelajaran yg di arahkan pembeliannya dan berbagai modus pungutan liar lainnya.

Dalam perkembangannya, pungutan liar saat PPDB mengalami perkembangan yang signifikan, pelaku pungutan liar berupaya agar mampu mengamuflasekan atau menyamarkan praktik pungutan liar ini menjadi suatu yang sah secara hukum sehingga ketika praktik pungli ini terbongkar, harapannya tidak sampai memenuhi unsur sebuah kejahatan (actus reus) sehingga lolos dari tindak pidana korupsi.

Ujungnya, komite sekolah sebagai pemimpin rapat meminta kesepakatan orangtua siswa/wali untuk menetapkan nominal biaya yang harus dibayarkan dan jangka waktu pembayarannya.

Modus Penyamaran.

Pada saat pendaftaran ulang, biasanya calon siswa yang diterima diwajibkan untuk membeli seragam sekolah di koperasi sekolah dengan alasan agar warna dan jenis kain seragamnya sama dan biasanya alasan kewajiban membeli itu karena seragam tersebut tidak dijual di pasaran secara bebas.

Selanjutnya, setelah calon siswa resmi diterima di suatu sekolah, orangtua siswa /wali mendapatkan undangan komite sekolah untuk hadir dalam rapat musyawarah komite sekolah. Adapun yang dibahas di dalam rapat tersebut mengenai rencana kerja sekolah, infrastruktur sekolah yang harus ditambah atau yang harus diperbaiki, dan anggaran sekolah yang defisit sehingga membutuhkan bantuan dari orangtua siswa/wali. Ujungnya komite sekolah sebagai pemimpin rapat meminta kesepakatan orangtua siswa/wali untuk menetapkan nominal biaya yang harus dibayarkan dan jangka waktu pembayarannya.

Definisi Pungutan dan Sumbangan

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa pungutan adalah suatu yang dipungut, suatu yang dipetik, suatu yang dikutip. Lebih spesifik tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar mendefinisikan bahwa pungutan adalah:

”Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.”

Sedangkan sumbangan didefinisikan secara jelas di dalam Pasal 1 Angka (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2012, yang berbunyi:

”Sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberian.”

Ketentuan Pasal 9 Ayat (1) Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 secara tegas mengatur tentang larangan sekolah dasar melakukan pungutan liar.

”Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.”

Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, Pasal 12 Huruf b mengatur bahwa Komite Sekolah, baik perorangan maupun kolektif, dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orangtua/walinya.

Artinya, dua permendikbud di atas mengatur dengan jelas bahwa sekolah hanya boleh menarik sumbangan, bukanlah pungutan sehingga jika pungutan masih ada, perbuatan tersebut jelas merupakan praktik yang melawan hukum.

Cara Kamuflase

Tidak ada suatu yang tidak dapat diakali, dalam praktik pungli di sekolah saat ini tidak dilakukan secara terang-terangan, praktik pungli dilakukan dengan cara yang lebih lembut dan rapi. Sekolah atau komite sekolah mengemas pungutan liar tersebut seakan-akan berdasarkan pada kesepakatan bersama antara pihak sekolah, komite sekolah, dan orangtua/wali murid.

Pertanyaannya, apakah ketika sudah terjadi kesepakatan kemudian menghapus definisi pungutan liar?

Kesepakatan itu dikenal di dalam hukum perdata. Dalam hukum perdata mengenal asas konsensualitas, asas yang mengatur bahwa pada dasarnya suatu perjanjian terjadi sejak tercapainya kesepakatan. Perjanjian harus ada kata sepakat secara sukarela dari para pihak untuk sahnya perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1321 KUH Perdata yang mengatakan bahwa ”Tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau tipuan.”

Dasar asas konsensualitas inilah yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar bahwa pungutan tersebut tidak bertentangan atau tidak melawan hukum jika dilakukan dengan dasar kesepakatan.

Apakah benar demikian? Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian. Terdapat 4 syarat sah perjanjian, 1) Kesepakatan; 2) Kecakapan para pihak; 3) Obyek tertentu; dan 4) Kausa yang halal.

Dalam teorinya, syarat pertama dan kedua di atas merupakan syarat subyektif, menyangkut para pihak yang melakukan perikatan atau berjanjian, sementara syarat ketiga dan keempat adalah syarat obyektif yang berisi tentang obyek perjanjian. Apabila syarat subyektif tersebut tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat obyektif, perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dalam hal klaim pungutan berdasarkan pada kesepakatan, dari syarat subyektif telah terpenuhi, komite sekolah dan orangtua/wali telah sepakat, para pihak juga cakap untuk melakukan perjanjian. Namun, mari kita lihat syarat sahnya perjanjian yang nomor 4 tentang kausa/sebab yang halal. Kausa/sebab halal dimaknai bahwa perjanjian sah jika sesuai dengan aturan perundang-undangan. Artinya, perbuatan yang ada di dalam perjanjian adalah perbuatan yang tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Kausa yang halal terkait perjanjian soal pungutan ini terbentur Ketentuan Pasal 9 Ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2012 dan Ketentuan Pasal 12 Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah yang secara tegas menyatakan bahwa penyelenggara pendidikan, komite sekolah dilarang melakukan pungutan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pungutan tersebut walau dari segi syarat subyektif sah, tidak memenuhi syarat obyektif, maka berdampak pada perjanjian yang batal demi hukum.

Ada beberapa hal yang mendukung adanya Pungli saat PPDB Sekolah terutama di Sekolah Negeri (Pemerintah), Yakni antaralain :

1. Seperti keinginan kuat dari Orangtua atau Murid untuk Sekolah di Sekolah tersebut sehingga Mereka akan membayar berapa pun agar bisa bersekolah disana,

2. Dibatasinya jumlah kuota oleh Dinas pendidikan sehingga celah itu digunakan Oknum Sekolah sebagai bahan tawar,

3. Ada dugaan “Storan” Ke Dinas Saat PPDB berlangsung,

4. Jumlah Dana Bos yang diterima pihak Sekolah tidak sesuai dengan hitungan jumlah Guru Pendidikan Sebab diduga Dana Bos hanya menghitung 1 hari dalam 1 bulan untuk guru-guru Honorer.

5. Jumlah Sekolah yang tidak sesuai dengan Kapasitas Jumlah Penduduk (Adanya Sistem Zonasi, diukur 1 Kilo dari letak Sekolah).

6. Kurangnya wawasan Komite dalam menjalankan poksinya.

7. Aturan Pemerintah pusat yang terkesan tidak Pro’ terhadap Dunia Pendidikan, Contohnya Sistem Zonasi, Sulitnya Akreditasi Sekolah, Dibatasinya jumlah kuota dalam satu sekolah, lemahnya pengawasan dari pihak Dinas serta Instansi terkait dalam Dunia Pendidikan, dan masih banyak lagi lainnya.

Hal-hal diataslah yang membuat rawannya Pungli di Sekolah terutama Sekolah Negeri. “Bila Satu Negara Ingin Maju Baik SDM Atau SDA, Maka Tingkatkanlah Mutu Kualitas Pendidikannya “.

(Iman Santoso)