OPINI  

Sexual Consent: Upaya Pelegalan Seks Bebas

Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)

JABAR.KABARDAERAH.COM . MAJALENGKA – Universitas Indonesia mendapat kritik dari sejumlah pihak terkait salah satu materi yang diberikan dalam Program Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKBM) 2020. Materi yang diberikan secara daring bertema “Cegah Kekerasan Seksual” tersebut, salah satu poinnya membahas tentang consent. Di mana consent berarti kesepakatan untuk melakukan aktivitas seksual. (kompas.com, 16/9/2020)

Sexual consent (persetujuan seksual) adalah persetujuan melakukan aktivitas seksual. Jika seseorang ingin melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya, harus dengan persetujuan: orientasi seksualnya homoseksual atau heteroseksual; apakah dengan anal seks, oral seks, atau yang lain.

Juga merupakan pilihan ingin menghendaki anak atau tidak, hingga pilihan jenis alat kontrasepsi. Semua berdasarkan kesepakatan pasangan itu. Jika aktivitas seksual tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka dianggap pemerkosaan dan kekerasan.

Di Barat, kampanye sexual consent di perguruan tinggi sudah biasa. Banyak Universitas melembagakan kampanye tentang persetujuan seksual, meski banyak pula yang menolaknya. Kampanye sexual consent dilaksanakan secara “kreatif” dengan slogan dan gambar yang menarik perhatian bahwa persetujuan pasangan dapat menjadi alat efektif meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual di kampus dan masalah terkait. (Wikipedia.org)

Ide sexual consent sejatinya adalah bentuk liberalisasi yang lahir dari peradaban demokrasi sekuler-liberal. Sexual consent menjadikan pergaulan bebas semakin merajalela. Pendidikan sexual consent memakai standar persetujuan antara kedua belah pihak, bukan standar halal-haram sesuai syariat Islam.

Karena ide sexual consent ini lahir dari sistem demokrasi yang rusak, maka sudah seharusnya kita membuang sistem yang rusak ini dan mencabut ke akar-akarnya sehingga tidak lagi bermunculan ide-ide yang menyesatkan umat ataupun upaya pelegalan terhadap seks bebas.

Disamping itu, pemerintah seharusnya melarang pendidikan sexual consent, perzinaan, dan mendekati zina dengan memasukkan aturan pergaulan sesuai dengan Islam dalam kurikulum untuk seluruh jenjang pendidikan, dari SD sampai Perguruan Tinggi.

Pemerintah juga seharusnya mengontrol media agar tidak mempertontonkan pornografi-pornoaksi, diganti dengan media yang mendorong ketakwaan, bukan mendorong nafsu syahwat. Pemerintah hendaknya mengeluarkan aturan pergaulan, haramnya zina dan mendekatinya, berikut sanksinya. Termasuk wajib memberi kemudahan menikah dan menutup perzinaan dan pintu kemaksiatan lainnya.

Semua itu tidak bisa dilakukan dalam sistem demokrasi yang diterapkan saat ini, karena tebentuk dengan ide HAM dan kebebasan berekspresi atau kebebasan yang lainnya. Hanya dengan sistem Islam-lah semua itu bisa diwujudkan.

Tentu saja Islam sangat tegas mengharamkan pendidikan sexual consent karena mengajarkan perilaku seksual berdasarkan persetujuan atau kesepakatan. Artinya, seluruh perilaku seksual bisa dilakukan dengan syarat disepakati kedua belah pihak dan tidak memperhatikan apakah yang disepakati itu halal atau haram.

Sexual consent membolehkan adanya pergaulan bebas semacam homoseksual, lesbian, aktivitas seksual di luar nikah/zina, mengumbar aurat, pacaran, dan hal-hal yang mendekati perzinaan, dengan syarat dilakukan secara sukarela/suka sama suka (tidak ada paksaan).

Padahal, semua itu diharamkan syariat Islam. Rincian dan implementasinya bisa dibaca lebih lanjut dalam kitab Nizhom Ijtima’i fil Islam (Sistem/aturan pergaulan dalam Islam) karangan Syekh Taqiyuddin an Nabhani.

Dalil keharaman perzinaan dan hal-hal yang mendekati perzinaan terdapat dalam firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (TQS Al-Isra: 32).

Islam juga mengharamkan perilaku seksual tidak pada tempatnya seperti anal seks (seks melalui dubur), oral seks (seks melalui mulut), lesbian (hubungan seks perempuan dengan perempuan), atau homoseksual (hubungan seks laki-laki dengan laki-laki).

Ibn Abbas dalam tafsirnya menjelaskan keharaman homoseksual dan melepaskan nafsu tidak pada kemaluan wanita. Tafsir QS Al A’raf ayat 81: “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki (dubur laki-laki) untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita (kemaluan wanita), malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (dalam bersekongkol melampaui batas yang halal kepada yang haram.” (Ibn Abbas, Tanwir Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir QS al A’rof ayat 81).

Sebenarnya, jelas sekali larangan melepaskan nafsu tidak pada kemaluan wanita (homoseksual). Mendatangi lelaki (dubur laki-laki) untuk melepaskan nafsu (kepada mereka) adalah haram. Qarinah atau indikator yang menunjukkan thalabu at tarki jaaziman (tuntutan meninggalkan secara pasti/haram) adalah dzam (celaan) pada pelakunya dengan menyebut pelakunya melampaui batas. (Al-A’raf akhir ayat 81). Bahkan, dalam surah Al-A’raf ayat 83 semakin ditegaskan haramnya, dengan qarinah didatangkan siksaan berupa hujan batu yang membinasakan mereka akibat berbuat dosa.

Dalam Islam sanksi bagi pezina yang belum menikah, maka wajib didera 100 kali cambukan dan boleh diasingkan selama setahun. Firman Allah SWT: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (TQS An Nur[24]: 2)

Adapun dalil tentang diasingkan selama setahun, berdasarkan hadis Rasulullah SAW, artinya, “Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi orang yang berzina tetapi belum menikah diasingkan selama satu tahun, dan dikenai had kepadanya.” (Abdurrahman al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 30-32)

Sedangkan sanksi bagi pelaku homoseksual adalah dihukum mati. Demikian pula bagi pezina yang sudah menikah, maka harus dirajam hingga mati. Rasulullah SAW bersabda, jika seorang laki-laki berzina dengan perempuan, Nabi SAW memerintahkan menjilidnya, kemudian ada kabar bahwa dia sudah menikah (muhshan), maka Nabi SAW memerintahkan untuk merajamnya.

Adapun sanksi bagi yang memfasilitasi orang lain untuk berzina, dengan sarana apa pun dan dengan cara apa pun, dengan dirinya sendiri maupun orang lain, tetap akan dikenakan sanksi. Dalam pandangan Islam, sanksinya adalah penjara 5 tahun dan dicambuk. Jika orang tersebut suami atau mahram, maka sanksi diperberat menjadi 10 tahun. (Abdurrahman al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 238)

Demikianlah Islam dengan tegas mengharamkan sexual consent, perzinaan dan hal-hal yang mendekati zina, serta perilaku seksual yang menyimpang. Islam juga mewajibkan sanksi keras bagi yang melanggarnya, sehingga menjadikan pelakunya jera dan mencegah bagi pelaku lainnya. Semua itu mutlak diperlukan adanya sebuah institusi negara yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah hanya dalam bingkai Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. (red)