OPINI  

Adakah Harapan Dalam Wacana Pemekaran Wilayah Jawa Barat ?

Oleh ; Lilis Suryani

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Frasa pemekaran wilayah akhir-akhir ini marak dibicarakan, Pemekaran wilayah diartikan sebagai pembentukan daerah otonomi baru yang (salah satu) tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Walaupun terjadi pergeseran makna, frasa “pemekaran wilayah”, kadung dimaknai seperti itu oleh masyarakat begitupun dengan pemerintah. Padahal, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pemekaran berasal dari kata dasar mekar. Mekar berarti

(1) menjadi besar dan gembung,

(2) menjadi bertambah luas.

Sementara pemekaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan bertambah besar. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemekaran wilayah berarti membuat sebuah wilayah atau daerah menjadi bertambah besar atau luas. Bertambah besar atau luasnya sebuah daerah tentu saja harus disertai dengan penambahan lahan sebagai pembatasnya. Namun dimasyarakat dimaknai sebaliknya.

Berkaitan dengan hal itu, Gubernur Jawa barat Ridwan Kamil pun, memaknai Pemekaran wilayah dengan makna yang keliru. Sebagaimana dikutip dilaman TribunJabar.id (14/10/2020).
“Penduduk kami banyak (hampir 50 juta jiwa) tapi daerah yang mengelolanya sedikit, hanya 27 daerah. Berbeda dengan (misalnya) Jawa Timur dengan jumlah penduduk 40 juta jiwa dikelola oleh 38 daerah. Sementara (selama ini) anggaran berbanding lurus dengan jumlah daerah, bukan jumlah penduduk,” kata Emil.

Maka, menurut Emil, pemekaran wilayah menjadi salah satu solusi dalam upaya meningkatkan pembangunan daerah di Jawa Barat.

“Jadi ada hal-hal yang sedang kami perjuangkan dari sisi pelayanan publik dan ekonomi secara politik yaitu pemekaran wilayah. Jadi kami berharap Jabar idealnya memiliki lebih dari 40 daerah (kabupaten/kota),” kata Emil.

Namun, yang terpenting bukanlah kekeliruan dalam memaknai “Pemekaran wilayah”. Melainkan, ada apa dibalik wacana pemekaran wilayah tersebut?
Benarkah demi kesejahteraan masyarakat ataukah hanya untuk kepentingan elite politik tertentu saja?.

Sebagaimana yang diungkapkan Pakar Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran, Asep Sumaryana menanggapi keinginan Gubernur Jabar Ridwan Kamil adanya pemekaran sejumlah kabupaten/kota di Jawa Barat.

Menurut Asep, dengan pemekaran daerah biasanya memicu konflik kepentingan dari kalangan politisi elite. Sehingga lebih banyak diperkeruh oleh kepentingan-kepentingan politik ketimbang tujuan mulianya untuk menyejahterakan masyarakat.(prfmnews.id,16/10/2020).

Alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat, wacana pemekaran wilayah justru membuka jalan neoimperilisme baru di Jawa Barat dan sarat akan kepentingan pemilik modal yang mengatasnamakan pembangunan. Sebenarnya, pemekaran wilayah bukanlah hal yang dibutuhkan rakyat untuk saat ini. Apalagi, rakyat tengah mengalami pandemi dan kesulitan ekonomi. Ancaman kematian karena terpapar virus atau kelaparanlah yang saat ini dikhawatirkan masyarakat. Semestinya, itulah yang menjadi fokus penanganan pemerintah.

Fakta membuktikan di dalam sistem kapitalisme demokrasi, hanya mencetak para penguasa yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dalam praktiknya, yang disebut “rakyat” tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan. Tak heran jika kemudian pemimpin hanya berfungsi sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas bagi orang-orang bermodal untuk menguasai negara.

Adapun, Islam sebagai agama yang paripurna, mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah kepemimpinan negara. Sistem kepemimpinan negara ini unik, berbeda dari sistem lain yang ada di dunia, baik itu kerajaan, republik maupun parlementer. Sistem yang disebut Imamah atau Khilafah, lahir dari hukum syara, bukan lahir dari para pemikir di kalangan manusia. Dengan demikian kedudukannya lebih kuat karena yang menetapkannya adalah Sang Pencipta manusia.

Di dalam Islam, pemimpin tunggal dari kaum Muslim di seluruh dunia yang biasa disebut Khalifah memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda:
Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat.
Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin” Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya (serambinews.com, 07/07/2017).

Makna raa’in ini digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khaththab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan sampai-sampai memasak batu. Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan .

Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.

Begitulah Pemimpin dalam Islam yang akan berusaha mensejahterakan rakyatnya, semata sebagai bentuk ketaatan dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT. Maka, harapan bagi rakyat saat ini jika ingin meraih keberkahan dan kesejahteraan, hanyalah dengan menerapkan Islam secara paripurna dalam tatanan kenegaraan.

Wallohua’lam bishshowab

(Lilis.S./red)