OPINI  

Jaminan Kebebasan Berpendapat, Tak Sekedar Ilusi

Oleh : Vitriastuti S.Si.

JABAR.KABARDAERAH.COM . OPINI – Beberapa pekan yang lalu, presiden Jokowi menyampaikan keinginannya terkait kritik membangun dari masyarakat terhadap pemerintah agar terjadi peningkatan kualitas dalam pelayanan publik.

Hal tersebut pun mebuka ruang untuk dilakukannya revisi terhadap UU ITE, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah sedang mendiskusikan untuk merevisi UU ITE. Presiden Joko Widodo juga menyinggung peluang mengubah pasal karet dalam UU ITE. Presiden menyampaikan,” Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka UU ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak (cnnindonesia)”.

Secara tidak langsung dari apa yang disampaikan oleh Presiden, membenarkan adanya masalah dalam persoalan menyampaikan pendapat dari masyarakat terkait pelayanan publik dan terhadap pejabat publik. Juga pembenaran bahwa UU ITE selama ini mengandung pasal-pasal karet.

Setelah mencuatnya Revisi UU ITE, seolah memberikan harapan bagi masyarakat terkait keamanan ketika memberikan pendapat, baik terhadap sesama rakyat ataupun terhadap penguasa dan pejabat publik. Karena, tentu saja masyarakat menginginkan perubahan kerarah yang lebih baik, melalui pendapat yang disampaikan tanpa berujung pada jeruji.

Namun, benarkan dengan revisi UU ITE dapat memberikan keamanan terhadap semua rakyat dalam menyampaikan pendapat dan kritik? Atau malah semakin mempersempit ruang untuk memberikan kritik terhadap kebijakan penguasa?

Karena kerap kali krtitik yang membangun ditafsirkan sebagai ujaran kebencian, penghinaan, atau pencemaran nama baik. Revisi UU ITE bisa saja menjadi cara penguasa melindungi para pendukungnya. Jika UU ini benar-benar direvisi, para pendukung penguasa mungkin bisa bernapas lega dan bebas dari jerat hukum.

Namun, berbeda urusan dengan rakyat kritis lainnya. Saat menyampaikan pendapat itu adalah sebuah kebebasan. Namun, setelah selesai menyampaikan pendapat lalu dilaporkan, maka hukum ditegakkan melalui penerapan UU ITE. Dalam Undang-Undang kebebasan berpendapat memang dilindungi, tapi UU ITE seakan siap menghadang saat Anda berpendapat.

Sistem ini mengklaim jaminan kebebasan, akan tetapi pada praktiknya menimbulkan kontradiksi. Akar dari kelemahan ini adalah Sekulerisme yang memisahkan antara kehidupan dengan agama, dan menjadikan kepentingan tertentu sebagai asas.

Berbeda dengan sistem islam yang menjadikan kritik sebagai bagian dari aktifitas amar makruf nahi mungkar. Penguasa dan rakyat sadar betul manusia mempunyai sifat salah dan lupa. Dengan kritik, penguasa bisa bermuhasabah dan memperbaiki kinerja yang akan menghasilkan cek and balance.

Dalam sistem islam Negara memberikan ruang, baik kepada rakyat ataupun partai untuk melakukan koreksi atau muhasabah terhadap pemerintah. Maka islam menjadikan mengkritik sebagai kewajiban untuk kemudahan dalam perbaikan yang dikenal dengan muhasabah lilhukam.

Mekanisme untuk melakukan muhasabah, bisa dilakukan secara individu oleh rakyat, dapat dilakukan oleh wakil rakyat (Majlis Al Ummah) yang dipilh langsung oleh umat, serta rakyat yang tidak puas dengan kebijakan penguasa bisa mengadukannya ke Mahkamah Madzolim yaitu pengadilan yang menyelesaikan permaslahan atau perselisihan antara rakyat dan penguasa.

Suasana amar makruf nahi mungkar akan sangat terasa. Maka, hanya dalam Sistem Islamlah kebebasan dalam berpendapat bukan hanya sekedar ilusi kerena mampu dijamin keberlangsungannya.

Wallahu’alam

(red)