Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)
JABAR.KABARDAERAH.COM . MAJALENGKA – Jawa Barat termasuk salah satu provinsi yang punya banyak tempat wisata indah dan menarik. Mereka pun berinovasi agar bisa lebih banyak menarik perhatian wisatawan. Dilansir laman liputan6.com (5/11/2020), dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan infrastruktur pariwisata dilakukan di sejumlah titik. Rencana pembangunan juga dijalankan pada Situ Bagendit.
Danau di Garut ini lebih dipercantik agar menarik lebih banyak wisatawan. Hal itu diungkapkan langsung oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
“(Pembangunan) akan dimulai minggu depan. Untuk dijadikan destinasi wisata terbaik di Jawa Barat,” tulis Ridwan Kamil dalam unggahan di akun Instagramnya pada 3 November 2020.
Pemerintah terus menggenjot sektor pariwisata, karena selain menjadi sektor penyumbang devisa negara, pariwisata pun dianggap mampu bersentuhan langsung dengan masyarakat setempat. Sehingga diharapkan akan langsung menggerakan perekonomian rakyat. Padahal, digenjotnya pariwisata hanya akan menjadi jalan bagi para investor untuk menanamkan modalnya, akhirnya semakin mengokohkan hegemoni asing di Jawa Barat.
Pariwisata menjadi sektor andalan agar terjadi arus modal dan investasi dari berbagai negara, korporasi ataupun personal ke suatu negeri. Hal ini seakan menjadikan sektor ini mampu menggairahkan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya pertumbuhan yang terjadi tidak mampu mensejahterakan negeri dan rakyat. Karena keuntungan sektor pariwisata hanya berlari kepada pemilik modal.
Tak bisa dipungkiri, di balik jargon pariwisata ‘menggairahkan bisnis lokal’, justru pemiskinan terjadi secara masif di sejumlah lokasi wisata. Misalnya, penduduk lokal yang awalnya adalah pemilik tanah, terpaksa harus menjual murah tanahnya karena tekanan pihak yang lebih kuat, ataupun karena tak sanggup bersaing dengan pendatang yang lebih mengerti bisnis wisata. Akibatnya, para mantan ‘tuan tanah’ ini hanya puas beralih profesi sebagai ‘buruh berseragam’ ataupun pekerja non formal.
Di pihak lain, pariwisata memang cara paling efektif untuk menyebarkan pemikiran asing. Kontak antara penduduk lokal dan turis asing menyebabkan inklusi sosial yang berujung pada transfer nilai. Kita bisa menginderanya jika masyarakat yang tinggal di kawasan wisata, lama-lama terkikis pemahaman agamanya dan kian ‘ramah’ terhadap ide liberal. Perubahan gaya hidup, bahasa, cara berpakaian, hingga toleran terhadap perilaku wisatawan. Gegar budaya, berujung pada imitasi perilaku asing.
Ekonomi neolib yang dianut negeri ini, telah menjadikan pariwisata sebagai tumpuan devisa negara. Sehingga menggenjot sektor pariwisata dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah perkara yang wajib, walau melanggar rambu-rambu agama. Satu sisi lain, sumber ekonomi krusial dibiarkan. Eksploitasi masif yang terjadi pada sumber daya alam kita, tak sama sekali menjadi permasalahan.
Padahal, syariat melarang pembiaran asing berkuasa atas kaum mukminin. Negara dalam sistem Islam tidak akan membiarkan celah bagi asing terbuka, sekalipun ‘hanya’ kerjasama bisnis pariwisata. Tidak akan membiarkan infiltrasi nilai yang merusak akidah dan akhlak umat. Apalagi, dalam pandangan Islam, pariwisata bukan sumber devisa utama, sehingga permisif demi menggenjot pemasukan. Negara akan mengandalkan sumber devisa utama dari pos fai-kharaj, kepemilikan umum dan pos sedekah.
Lebih dari itu, tujuan utama dipertahankannya pariwisata adalah sebagai sarana dakwah dan Di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Tafakur alam akan menjadi sarana untuk menumbuhkan atau mengokohkan keimanan pada Allah SWT. Menjadi sarana propaganda (Di’ayah), untuk meyakinkan siapapun tentang bukti-bukti keagungan dan kemuliaan peradaban Islam.
Semua itu menjadi bukti, bahwa tak ada yang sia-sia dalam Islam, termasuk dalam menempatkan pariwisata. Jika Kita serius menjaga dan mengolah sumber daya alam yang melimpah ruah di negeri Kita tercinta ini, akan kita dapatkan benefit yang bukan hanya berbicara pertumbuhan ekonomi, namun lebih dari itu kesejahteraan rakyat akan tercipta. Karena ketundukan atas kebesaran Allah SWT-lah yang menjadikan sebuah bangsa mandiri, mulia dan tangguh, lepas dari daulat asing. Wallahu a’lam bishshawab. (red)