OPINI  

Ketum KHMI Bicara ; Fenomena Kenang-kenangan Diakhir Kenaikan Dan Kelulusan di Sekolah

KAB. BEKASI . JABAR.KABARDAERAH.COM — Ketua Umum Paguyuban Konsultasi Hukum Masyarakat Indonesia (KHMI) yang juga Sekertaris Komunitas Intelektual Kampus Yudiyantho soroti terkait dengan Kenang-kenangan diakhir kelulusan Sekolah dan Kenaikan Kelas.

Saat ditemui dikediamannya diwilayah Perum Villa Mutiara Wanajaya Cibitung (23/6/23). Ia mengatakan bahwa menurutnya hal itu ada dua teori, Teori pertama adalah bahwa itu suatu ucapan rasa syukur dan terima kasih, sementara yang kedua adalah bentuk gratifikasi yang melanggar UU Pungli.

Lebih gamblang Ia mengatakan,” Bila hal itu didasarkan atas sebuah keinginan sendiri atau masing-masing para Siswa atau orang tua Walimurid sebagai bentuk ucapan terima kasih, rasa syukur, dan bentuk penghormatan atas jasa-jasa para guru yang sudah bersusah payah penuh kesabaran dalam mendidik putra-putrinya, tentunya sesuatu yang bisa dibilang dibolehkan atau sangat dipuji. Hal ini dikarenakan penghormatan tersebut merupakan bentuk ungkapan sanubari yang paling dalam dari para peserta didik dan Orang tua/Wali murid kepada para guru tersebut. Jadi patut diapresiasi serta diacungi jempol,” tuturnya.

” Sedang untuk sesuatu bentuk pemberian kenang-kenangan yang disertai dengan paksaan atau kewajiban oleh pihak Sekolah, atau Komite Sekolahnya, dapat dikatagorikan sebagai bentuk Gratifikasi (Bagi PNS/ASN), atau dugaan praktek pungli yang pastinya melanggar Undang-undang. Pasal yang dilanggar itu adalah Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor), “Penyelenggara pendidikan yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri “, Oknum tersebut itu bisa dipidana dengan pidana atau Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,” jelasnya.

” Jadi menurut Saya, Masyarakat harus lebih bijak dalam membaca fenomena terkait kelulusan atau kenaikan kelas para putra-putri Kita disekolah, Jadi tidak semua harus didasari atas dasar hukum yang berlaku, meskipun negara Kita adalah negara hukum, tapi kita tidak boleh mengesampingkan terkait norma kepatutan dan penghormatan atas jasa-jasa para guru kepada anak-anak kita,” ungkapnya.

” Kalau untuk adanya Wisuda ditingkat TK – SMA, sepertinya memang itu tidak diperlukan, karena Wisuda itu sejatinya adalah Marwah daripada para Mahasiswa dan Mahasiswi yang memang baru lulus Kuliah. Jadi jangan disama ratakan antara Marwah Wisuda TK sampai SMA itu dengan yang kuliah. Hal’ itu yang harusnya diselidiki apakah dalam prosesnya acara tersebut ada dugaan punglinya atau tidak. Yah’ kalau bahasa agama baiknya kembali ke Fitrah saja, agar Marwah Wisuda itu dikembalikan kepada para lulusan Kuliah. Jadi Sekolah jangan buat aneh-aneh yah,” pungkasnya. (***)