OPINI  

Membaca Pemilihan Calon Wakil Bupati Bekasi Sisa Masa Jabatan 2017-2022

Oleh: Izhar Ma’sum Rosadi *

JABAR.KABARDAERAH.COM – Bekasi, Beberapa saat lalu, saya sempat diskusi kecil sembari ngopi dengan Kyai Kancil Sukawangi dan beberapa kolega, membahas pencalonan wakil Bupati Bekasi beralaskan tikar di Pulo Puter Tambun Utara Kabupaten Bekasi. Sehingga saya menjadi tertarik untuk membuat tulisan ini.
Kita ketahui, bahwa pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2017-2022 adalah Neneng Hasanah Yasin dan Eka Supri Atmaja. Neneng Hasanah Yasin kini terjerat persoalan hukum dan mendekam di penjara dan Eka Supri Atmaja telah secara definitif menjadi Bupati Bekasi. Kini, memasuki perhelatan pemilihan calon wakil bupati. Tirai pemilihan calon wakil bupati Bekasi sudah dibuka seiring dengan momentum telah dibentuknya panitia pemilihan. Seluruh kekuatan politik memanaskan mesin utama kontestasi, sekaligus melakukan serangkaian manuver pendahuluan guna mengetahui posisi kawan dan lawan jelang puncak perhelatan pemilihan calon wakil Bupati Bekasi. Dapat diprediksi dengan mudah, tensi politik akan eskalatif seiring dengan munculnya beragam kelompok yang unjuk kekuatan.
Jika dipetakan, ada beberapa hal krusial yang harus dicermati.

Pertama, tidak ada kewajiban dalam peraturan perundang-undangan manapun yang menyebutkan bahwa wakil bupati mesti berasal dari orang asli Bekasi. Isu primordial ini rasanya selalu mengemuka tiap kali ada kontestasi politik di Kabupaten Bekasi. Ini harus direspon dengan serius, karena bagaimanapun isu primordial “orang asli versus orang pendatang” juga tidak terlalu baik di mata publik dalam konteks kedewasaan berpolitik dan dalam kerangka kebangsaan dewasa ini.

Atas dasar itu rasanya menjadi tepat untuk menolak primordialisme “orang asli versus orang pendatang” dalam perhelatan pemilihan calon Wakil Bupati Bekasi.

Kedua, Terkait branding dan pemasaran politik para elite dilakukan dengan strategi tertentu. Publisitas politik, konstruksi dan rekonstruksi opini publik, serta optimalisasi saluran-saluran komunikasi politik mulai dari face-to-face informal, pemanfaatan struktur sosial tradisional, saluran input dan output hingga media massa. Juga dengan pendekatan hype politic, yakni dengan membuat gaduh di media agar khalayak berpaling. Maka, sepanjang pemilihan calon wakil Bupati Bekasi ini upaya menanamkan brand dari kekuatan baru, dan rebranding dari kekuatan lama yang sadar mengalami titik jenuh akan tercurah masif dan sistemis.

Ketiga, Ada beberapa penyakit dalam praktik politik. Misalnya, kian akutnya demokrasi kolusif yang mengacu pada perilaku politik yang lebih memilih ‘ko-opsi’ dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Ini tampak dalam akomodasi politik yang sangat pragmatis dan mengabaikan aturan. Elit politik yang tergabung dalam aliansi sangat mudah berubah arah. Sehingga, kerap muncul perilaku elit politik pendukung pemerintah bercitarasa oposisi. Hal lain yang sangat krusial dalam aliansi elit politik adalah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Aliansi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologi serta kerap mengingkari konstituen mereka. Hasilnya Bupati dan Wakil Bupati tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena disibukkan berbagai pilihan strategi kolaborasi, akomodasi atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain. Inilah penyakit lama pascareformasi yang tak kunjung sembuh hingga sekarang. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan, sehingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Terakhir, penyakit lama terindikasi terjadi di Kabupaten Bekasi bahwa sistem secara sengaja ditundukkan dan dimandulkan perselingkuhan abadi para pengusaha dan penguasa. Para pemilik kapital dan pemangku otoritas berkolaborasi dalam mengamankan sejumlah proyek “bancakan.” Politik lantas disulap menjadi alat ampuh pengendalian bahkan manipulasi. Saya mengamati, betapa sulitnya pemerintah kabupaten Bekasi menjalankan amanat perda yang telah dibuatnya bersama DPRD Kabupaten Bekasi. Sebut saja, misalnya, dalam hal penegakan Perda Pariwisata dalam kaitannya dengan banyaknya Tempat Hiburan Malam (THM) yang beroperasi di Kabupaten ini. Kemudian, pelaksanaan Perda Penyerahan Sarana, Prasana, dan Utilitas juga terindikasi tunduk dengan kepentingan para pengembang.
Jika tak ada ”obat” yang tepat, maka bukan mustahil 2019 menuju 2022 akan membuat kabupaten ini semakin sakit. Untuk mengatasinya, butuh partisipasi dan kedewasaaan semua kekuatan agar mereka memainkan peran dengan menyandarkan pada aturan main yang kuat dan tegas.

Rivalitas politik dan kepentingan itu lumrah. Hanya, seluruh pemain (Panitia Pemilihan juga para calon wakil bupati) yang siap turun ke gelanggang juga harus menyadari bahwa setiap permainan ada aturan. Penghormatan atas aturan itulah yang menjadi kesejatian manusia beradab!

Narasi di atas harus dipahami oleh public dan semua entitas, agar nantinya proses seleksi Calon Wakil Bupati Bekasi akan menghasilkan figur berintegritas yang dapat dipercaya mendampingi Bupati Eka Supri Atmaja memimpin Kabupaten Bekasi menghabiskan sisa masa jabatan hingga 2022 ke depan.(*)

* Penulis adalah warga Kabupaten Bekasi, asal dari Lampung sudah mukim kurang lebih 11 tahun di Kabupaten Bekasi, merupakan Ketua Umum LSM BALADAYA.